Lihatlah, Semua Orang Itu Baik

Cover yang baik belum tentu isinya baik, bisa saja buruk atau mungkin bisa jauh lebih baik. Jangan mudah berprasangka apalagi hingga menghakimi, biarkan semua berjalan apa adanya. Hingga emas membuktikan dirinya sebagai emas bukan sampah.

Abraham membuktikan dirinya bahwa dia adalah seorang yang baik, rendah hati, penuh kasih, sabar, taat, karena itu dia dapat memandang orang lain pun demikian. Tanpa curiga ia menyambut tiga orang yang datang menghampirinya. Dengan berlari Abraham segera menjumpai ketiganya dan bersujud sebagai bentuk kesungguhan permohonan agar mereka mau mampir ke rumahnya. Bukan hanya sekedar untuk singgah tapi Abraham juga melayani mereka bak para raja. Tindakan Abraham ini dikemudian hari menjadi budaya dari bangsa Yahudi dalam memperlakukan orang asing yang datang ke rumah atau ke wilayah mereka.

Sahabat Alkitab, hari ini mudah sekali kita berprasangka buruk terhadap orang lain, apalagi jika orang itu tidak kita kenal atau berpenampilan kurang meyakinkan dalam pandangan kita. Ini terjadi karena memang dunia sedang mengajarkan kita demikian. Semuanya dimulai dari apa yang kita tonton, apa yang kita baca, apa yang kita dengar, dan juga apa yang kita alami sendiri. Namun sahabat, jika kita belajar dan berfokus pada firman Tuhan, maka yang kita dapati adalah Tuhan mengajar kita untuk mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri sendiri. Artinya, memperlakukan setiap orang yang kita jumpai dengan sebaik-baiknya, mulai dari pandangan kita tentang mereka sampai pada cara kita berbicara dan berperilaku dengan terhadap mereka. Sesunguhnya cara kita melihat orang lain adalah cerminan dari cara kita melihat diri sendiri.

Selamat Pagi. Lihatlah dan sambutlah semua orang dengan baik, Tuhan yang Mahamelihat dan Mahamengetahui akan menunjukkan kelak siapa mereka sebenarnya.

Albert Cornelisz Ruyl: Pelopor Penerjemahan Alkitab Di Indonesia

Kedatangan Belanda ke Nusantara (Hindia Belanda, sekarang: Indonesia) bukan semata terdorong pencarian rempah-rempah tapi juga kejayaan dan keinginan mewartakan Injil  – dikenal dengan gold, glory, gospel (3G). Untuk tujuan tersebut, Belanda mendirikan VOC – Vereenigde Oost-Indische Compagnie – dan memerintah Cornelis de Houtman untuk memimpin misi VOC ke Hindia Belanda agar hasil bumi dapat sepenuhnya dikelola.

Pada tahun 1600 Albert Cornelisz Ruyl adalah salah satu pegawai VOC yang ditugaskan ke Hindia Belanda. Semangat 3G juga telah tertanam dalam setiap pegawai VOC. Di sela-sela tugas dan pekerjaannya, Ruyl melihat peluang untuk melakukan pewartaan Injil masih terbuka lebar. Namun Firman Tuhan dalam Bahasa Melayu yang dijadikan media utama untuk menyampaikan Kabar Baik kepada penduduk pribumi belum tersedia. Untuk itu, hatinya tersentuh dan tergerak serta menyediakan waktunya untuk melakukan pekerjaan penerjemahan Alkitab. Kitab pertama yang diterjemahkannya adalah Injil Matius.

Tahun 1612, Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan seluruh Kitab Injil Matius ke dalam Bahasa Melayu. Masih butuh waktu untuk mencetak dan menerbitkannya. Ruyl bahkan mendorong rekan-rekan sekerjanya untuk patungan membiayai semua ongkos penerbitannya. Baru pada tahun 1629, setelah tujuh belas tahun terbilah Injil Matius dalam Bahasa Melayu. Menurut catatan Lembaga Alkitab Inggris (BFBS- British Foreign Bible Society): “Injil Matius Ruyl adalah terbitan pertama kali dalam sejarah, bahwa kitab dalam Alkitab yang diterjemahkan dan dicetak dalam sebuah bahasa bukan bahasa Eropa, khusus sebagai sarana pewartaan Injil”. Kemudian Ruyl juga menerjemahkan Kitab Injil Markus, yang dicetak dan diterbitkan di Belanda pada tahun 1638.

Memang belum banyak yang tahu, Ruyl yang menjadi pelopor pekerjaan penerjemahan Alkitab di Indonesia. Dia bukanlah utusan zending. Dia bukanlah penginjil, apalagi pendeta. Dia hanyalah pedagang, yang sangat identik dengan tukang cari utung. Namun untuk pekerjaan ini, Tuhan bisa pakai siapa saja. Ruyl sudah dipakai sebagai alatNya untuk melakukan tugas pewartaan Kabar Baik. Anda pun bisa dipakai Tuhan sebagai alatNya. Tapi apakah kita mau menyambut uluran tanganNya? [3FQ]

Penerjemahan Alkitab Di Nusantara: Dari Ruyl Sampai Terjemahan Baru

Pekerjaan penerjemahan Alkitab di Indonesia sudah berlangsung sejak abad ke-17, ketika seorang pedagang bernama Albert Cornelisz Ruyl menerjemahkan Injil Matius ke dalam Bahasa Melayu yang terbit pada tahun 1629. Setelah selesai menerjemahkan Injil Matius, Ruyl menerjemahkan Injil Markus yang kemudian diterbitkan pada tahun 1638. Kedua Injil itu diterbitkan dengan menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Belanda dan Melayu.

Rupanya bahasa yang dipakai oleh Ruyl dianggap sulit dimengerti oleh sebagian penutur bahasa Melayu. Karena itu seorang pendeta asal Belanda, Daniel Brouwerius, memandang perlu untuk melakukan penerjemahan seluruh kitab Perjanjian dalam bahasa Melayu “pasar”. Terjemahan Brouwerius diterbitkan pada tahun 1668. Sumber naskah yang ia pakai adalah kitab-kitab yang berasal dari bahasa Yunani, Latin dan Belanda.

Akhir abad ke-17 mulai terlihat dampak dari keberhasilan pekerjaan zending dan pertumbuhan umat kristiani di Nusantara. Agar iman mereka tetap terpelihara dan Kabar Baik harus terus tersebar, maka muncul keinginan dari gereja-gereja di Batavia untuk menyalin firman Allah ke dalam bahasa Melayu. Harapannya, isi terjemahan Alkitab di kemudian hari dapat menghilangkan teka-teki yang ada di dalamnya. Desakan penerjemahan yang di sponsori oleh VOC ini kemudian dibebankan kepada Dr. Melchior Leijdecker. Tahun 1691 pekerjaan penerjemahan mulai dikerjakan. Sayangnya pengerjaan ini terpaksa berhenti karena Leijdecker meninggal dunia tahun 1701. Penerjemahan kemudian dilanjutkan oleh Pdt. Peter van der Vorm hingga selesai.

Tahun 1727 seluruh hasil terjemahan Leijdekker sebelumnya diperiksa dan dikoreksi ulang oleh van der Vorm bersama anggota timnya, setelah VOC menolak hasil penerjemahan Pdt. Francois Valentine yang menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa Melayu Ambon. Tahun 1733 Alkitab terjemahan Leijdecker Bahasa Melayu dengan huruf latin diterbitkan di Belanda. Kemudian tahun 1758, Alkitab tersebut diterbitkan juga di Batavia tetapi dengan menggunakan huruf Jawi (arab gundul).

Teks terjemahan Leijdekker telah menjadi terjemahan standar yang dipakai di Indonesia sampai tahun 1916. Proyek penerjemahan Leijdekker merupakan pekerjaan penerjemahan pertama yang dilakukan oleh sebuah tim, dengan tidak hanya memakai naskah Alkitab berbahasa Belanda tapi juga menggunakan bahasa-bahasa asli Alkitab dan bahasa-bahasa lainnya.

Sama seperti beberapa terjemahan Alkitab sebelumnya, terjemahan Leijdecker ini memiliki dua kekurangan. Pertama, terjemahan ini banyak meminjam kata dari bahasa Arab dan Persia yang masih asing bagi banyak orang Melayu saat itu, kecuali mereka yang memiliki pendidikan agama Islam. Kedua, terjemahannya masih menggunakan tata bahasa yang buruk dan tidak adanya idiom yang tepat.

Terjemahan Leijdecker ini dirasa tidak cukup baik, karena penggunaan bahasanya yang digunakan tampak sangat tidak alami, tidak wajar, dan sulit dimengerti. Sehingga banyak umat ingin menggantinya, mulai dari yang hanya merevisi sampai mereka yang ingin menggantinya dengan terjemahan yang baru. Tahun 1817 Perjanjian Baru terjemahan Leijdekker yang direvisi oleh Robert Hutchings telah dicetak di Serampore oleh Lembaga Alkitab Inggris “British Foreign Bible Society” (BFBS). Kemudian tahun 1821, terjemahan Alkitab Leijdecker lengkap yang sudah direvisi oleh BFBS dicetak, dan didistribusikan di Penang. Namun dalam terjemahan tersebut masih terdapat kata-kata, idiom dan ejaan Jawi yang tidak sesuai dengan bahasa Melayu. Tahun 1835 terbit Perjanjian Baru edisi bahasa Melayu rendah berdasarkan dialek Surabaya yang diterjemahkan oleh Johanes Emde.

Pada tahun 1863, Cornelius Klinkert ditugaskan oleh Lembaga Alkitab Belanda “XXX” untuk merevisi terjemahan Alkitab Leijdecker dan mempersiapkan terjemahan Alkitab yang baru dalam bahasa Melayu “tinggi”. Namun, ada keluhan dari para misionaris di Semenanjung Malaysia bahwa terjemahan Klinkert terlalu dipengaruhi oleh dialek Minahasa yang tidak biasa bagi para pembaca Melayu di Melaka dan Singapura.

Tahun 1890 sebuah komite dibentuk untuk merevisi Alkitab dalam bahasa Melayu, yang terdiri dari Uskup Hose, W.H. Gomes dan W. G. Shellabear, seorang tentara yang menjadi misionaris.  Tahun 1900, W. G. Shellabear dipekerjakan oleh Lembaga Alkitab Belanda dan mulai menerjemahkan Alkitab. Bagi Shellabear, hasil penerjemahannya  dengan memakai huruf Jawi adalah sesuatu yang baru terutama untuk orang Melayu. Tahun 1912 Alkitab terjemahan Shellabear dalam naskah Jawi itu diterbitkan. Terjemahan Ini pada dasarnya merupakan revisi terjemahan Klinkert dalam bahasa Melayu “tinggi”.

Tahun 1924, W.G. Shellabear memprakarsai pertemuan antara Lembaga Alkitab Inggris dan Lembaga Alkitab Belanda yang menghasilkan sebuah keputusan bahwa umat kristiani di Semenanjung Malaya dan orang Melayu di Hindia Belanda harus mempunyai Alkitab yang sama.

Kemudian tahun 1929, Lembaga Alkitab Inggris, Lembaga Alkitab Scotlandia, dan Lembaga Alkitab Belanda membentuk tim penerjemahan Alkitab di bawah pimpinan Pdt. Werner Bode untuk mempersiapkan edisi baru Alkitab Melayu, berdasarkan tiga versi yaitu Shellabear, Klinkert, dan Leijdekker. Salah satu anggota tim ini adalah seorang Melayu Perak bernama Mashohor bin Kulop Endut, yang telah membantu Shellabear menyelesaikan terjemahan Alkitabnya. Tim Bode ini bertugas menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu persatuan, dan berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru serta menyediakan konsep terjemahan sejumlah kitab Perjanjian Lama.

Tahun 1954 Lembaga Alkitab Indonesia berdiri. Sambil menantikan selesainya terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia, maka pada tahun 1958 diterbitkan Alkitab Terjemahan Lama yang merupakan gabungan Perjanjian Lama Klinkert dan Perjanjian Baru Bode.

Setelah proses penerjemahan yang panjang, akhirnya tahun 1974 Lembaga Alkitab Indonesia berhasil menerbitkan Alkitab Terjemahan Baru, yakni Alkitab versi resmi dalam bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh sekelompok ahli dari Belanda dan Indonesia. Versi inilah yang digunakan sampai sekarang. []

Mengapa Terjemahan Alkitab Perlu Direvisi?

Seringkali orang salah kaprah memahami perlunya revisi terhadap sebuah terjemahan Alkitab. Perlu ditegaskan bahwa terjemahan Alkitab perlu dilakukan revisi terus menerus, sehingga pesan Alkitab akan sampai kepada para penutur pada jamannya. Untuk menghindari salah pengertian, bahwa yang direvisi bukanlah salinan naskah-naskah bahasa asli Alkitab. Autograph  tidak pernah direvisi, yang direvisi hanyalah terjemahan Alkitabnya.

Setiap naskah terjemahan Alkitab, baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa lain-lain perlu dilakukan revisi-revisi. Demikian juga terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia yang naskahnya diterjemahkan dan diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Terjemahan Alkitab tersebut dikenal dengan Alkitab Terjemahan Baru yang terbit tahun 1974.

Mengapa Alkitab Terjemahan Baru perlu direvisi? Hal ini dikarenakan pada saat Alkitab ini diterjemahkan pada akhir tahun 1950-an ada beberapa kosakata yang masih asing dan sulit untuk diterjemahkan, sehingga sulit dipahami oleh penuturnya yang hidup pada dasawarsa setelah proses penerjemahan dilakukan. Kemajuan ilmu penerjemahan dan perkembangan studi biblika semakin menolong Tim Penerjemahan untuk menghasilkan naskah penerjemahan yang lebih akurat, sehingga akan membantu dalam memahami Alkitab seutuhnya. Alasan kedua adalah karena bahasa itu senantiasa berubah dan berkembang. Bahasa apapun itu terus berubah, mengalami perubahan dan perkembangan. Contohnya kata “gerombolan”. Kata “Gerombolan” jaman dulu tidak punya konotasi buruk. namun sekarang sering kali digunakan untuk menyebutkan suatu kelompok dalam konotasi yang jelek (untuk penjahat).

Untuk itu, versi-versi terjemahan Alkitab harus mengikuti kaidah dan kecocokan bahasa pada masanya. Karena perkembangan bahasa dan keterbatasan suatu bahasa, maka revisi terjemahan Alkitab harus terus dilakukan, sehingga terjemahan yang dihasilkan semakin akurat dengan arti yang sesungguhnya. Hal inilah yang menjadi tujuan dari diadakannya sebuah revisi terhadap terjemahan Alkitab.[]

Menjadi Mitra Allah yang Tepercaya

(1 Kor. 4: 2)

Kepercayaan merupakan salah satu persoalan sentral di zaman kita. Richard Edelman, CEO Edelman Trust Barometer, dalam tulisannya di majalah The Economist (2017) menyebutkan bahwa krisis kepercayaan yang masif sedang melanda dunia kita dalam berbagai bidang kehidupan, dari ranah politik, ekonomi, hingga ranah sosio-kultural. Dalam ranah yang terakhir ini termasuk ranah keagamaan yang belakangan ditandai teror-teror yang menghalalkan kekerasan atas nama keyakinan sehingga memicu pertanyaan kritis tentang peran negatif agama bagi kehidupan yang berkeadaban.

Ditelisik dari perspektif teologis-biblis, harus diakui bahwa krisis kepercayaan seperti itu telah berusia setua umat manusia. Alkitab bercerita, manusia pertama diberi kepercayaan untuk mengelola dunia ciptaan Tuhan dan diberi janji berkat dengan hanya satu syarat: menghormati batas yang digariskan Pencipta. Namun, godaan untuk melampaui batas itu sering muncul dan menimbulkan krisis kepercayaan dalam bentuk keraguan terhadap itikad Pencipta sendiri. Akibat krisis kepercayaan ini terdeteksi dalam lembar-lembar panjang sejarah umat manusia.

Dunia kerja tidak luput dari krisis yang serupa. Seperti yang digambarkan oleh Rasul Paulus, persoalan terdalamnya berakar pada keterbelahan antara kehendak dan tindakan: “Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik” (Rm. 7:18). Dilema yang terdalam ini kerap menampilkan diri dalam berbagai bentuk standar ganda: kejujuran sekaligus kemunafikan, ketulusan sekaligus kelicikan, kesungguhan sekaligus ketidakpedulian. Namun, sebagai umat percaya, keterbelahan eksistensial ini tidak hanya melahirkan teriak putus asa, sebab jalan baru penuh pengharapan ditawarkan pula kepada umat beriman di dalam Kristus Yesus (Rm. 7:24-25).

Bagi umat percaya, dunia kerja niscaya termasuk wilayah yang diresapi oleh nilai-nilai baru yang muncul dari etika hidup baru (Rm. 12:1-2). Manifestasi etika baru ini semestinya turut mendorong proses transformasi ruang kerja, berikut berbagai dinamika di dalamnya. Kerja menemukan orientasinya yang baru karena dilakukan bukan sekadar untuk mencari nafkah melainkan untuk Tuhan: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23). Kata-kata kuncinya “untuk Tuhan” dan “dengan segenap hati” meletakkan landasan yang teramat penting bagi etos kerja Kristiani. Nilai utama yang menggerakkan dan menginspirasi perilaku di dunia kerja bagi umat beriman bukan hanya apa yang ingin dicapai sebagai hasil akhir dari proses-proses kerja melainkan juga Siapa yang diyakini sebagai Penguji segala karya manusia pada akhirnya (1 Kor. 3:13).

Konsekuensinya, setiap orang percaya terpanggil untuk menjadi mitra kerja Allah yang tepercaya, dapat diandalkan, dan tahan uji. Kesadaran ini mendorong kita untuk bekerja sepenuh hati, penuh tanggung jawab bukan saja kepada manusia tetapi kepada Dia yang melibatkan kita sebagai mitra-Nya, perpanjangan tangan-Nya di dunia. Dengan cara yang sama, selaku lembaga pelayanan Kristiani, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), selayaknya berkomitmen untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas dalam seluruh program pelayanannya sebagai mitra Gereja dan umat Tuhan dalam menghadirkan Firman Allah bagi semua orang. Seperti yang dikemukakan Paulus, rasul yang telah teruji oleh berbagai kesulitan dan penderitaan, ”Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor. 4:2).

Di usia yang ke-64 tahun, LAI sepatutnya bersyukur sembari memperbarui komitmennya untuk menjadi mitra tepercaya dalam menghadirkan Kabar Baik di Nusantara: Sejauh mana LAI dengan seluruh jajarannya telah mengoptimalkan segala karunia dan potensi yang dipercayakan Tuhan untuk bekerja tuntas penuh integritas agar dapat memberikan layanan terbaik demi mendukung penyebaran Kabar Baik? Di era yang ditandai oleh derasnya gelombang kompetisi, bagaimana LAI tetap dapat menjaga integritas pelayanannya dan tidak terjebak pada sikap pragmatis, apalagi hanya demi kepentingan finansial dan komersial yang kerap menyusup dalam kegiatan-kegiatan usaha sejenis? Singkatnya, diperlukan pembaruan komitmen dan etos kerja terus-menerus untuk merawat dan meningkatkan kepercayaan umat penggunaan Alkitab terhadap LAI. Untuk itu, diperlukan keterbukaan yang sungguh-sungguh untuk menerima saran dan kritik dari umat pengguna Alkitab, LAI dapat tetap berperan sebagai mitra tepercaya dalam menghadirkan Kabar Baik lewat pengadaan Alkitab dan materi-materi berbasis Alkitab. [AT]

Membakar Hubungan dengan Cinta

 

Bagi mereka yang sering berpetualang dengan mendaki gunung pasti tahu apa gunanya api unggun. Saat malam hari menikmati suasana kebersamaan di puncak gunung, rasanya kurang lengkap kalau tidak menyalakan api unggun. Duduk bersama dengan mengelilingin api unggun, saling berkenalan lebih jauh, saling bercerita tentang pengalaman pribadi atau banyak hal. Kehangatan yang dipancarkan oleh nyala api akan mencairkan suasana dan menyempurnakan kebersamaan.

Tuhan telah menciptakan manusia sebagai Homo Homini Socius yang mana sudah menjadi kodratnya untuk berinteraksi dan menjalin hubungan dengan sesamanya. Hubungan ini tidak bisa dilepaskan sepanjang hidup manusia. Jika ada yang dengan paksa melepaskan dirinya dari hubungan sosial ini maka ia akan kehilangan sebagian besar dari sisi terpenting hidupnya itu sendiri. Ada begitu banyak bentuk hubungan antara manusia, seperti hubungan keluarga, yang meliputi hubungan orang tua dengan anak, hubungan suami dengan istri, hubungan antar saudara. Ada juga hubungan pertemanan biasa sampai hubungan sebagai sahabat karib. Begitu kompleks hubungan antar manusia ini sehingga sangat diperlukan upaya besar untuk menjaganya.

Allah sebagai sumber dari cinta kasih mengaruniakan cinta dalam hati setiap anak manusia, agar dengan begitu mereka dapat merawat relasi sosialnya. Kidung cinta yang ditulis oleh Salomo di masa mudanya kepada seorang wanita pujaan hatinya menjadi salah satu gambaran cinta kasih dalam diri manusia. Hubungan keduanya dibangun di atas cinta kasih yang dapat terlihat dari setiap pujian yang disampaikan berbalas-balasan. Tanpa canggung mereka saling memuji, yang memang tidak dapat disangkali bahwa dalam kemudaannya sisi seksualitaslah menjadi yang paling menonjol. Terlihat bahwa gairah cinta masa muda begitu membara dalam diri mereka dengan begitu hangatnya. Sang Putri Sulam mengungkapkan, “…karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!” Begitu kuat mencengkeram layaknya harimau buas yang mencengkeram mangsanya.

Secara umum, permulaan suatu hubungan memang akan terasa begitu menggebu, cinta yang begitu besar, hasrat yang membara, serta keinginan untuk selalu bersama akan begitu kuat. Tetapi semuanya itu akan teruji dengan waktu dan berbagai tantangan. Namun terkadang apa yang dimulai dengan begitu hangat lambat laun akan menjadi dingin hingga membeku. Seperti sebuah kapal yang mengarungi samudera luas, jika sanggup menghadapi gelombang dan hantaman badai maka dapat dipastikan akan sampai ke pantai impian, namun jika gagal, maka akan karam dan atau tenggelam, hilang tanpa jejak. Jika sudah begitu, lantas apakah yang harus dilakukan?

Kita semua pasti tahu bagaimana kisah cinta antara Amnon dan Tamar. Cinta atau mungkin lebih tepatnya gairah yang timbul pada diri Amnon terhadap Tamar terjadi atas daya tarik fisik. Gairah seksual seorang pemuda melihat kecantikan (atau kemolekan) dari Tamar yang ingin segera dilepaskannya. Keinginan yang tidak didasari oleh cinta kasih yang murni ini akhirnya berbuahkan dosa percabulan dan berakhir dengan kebencian. Amnon sangat benci kepada Tamar. Dalam konteks Kidung Agung, maka hubungan antara Salomo dan putri Sulam diawali dengan sebuah ikatan cinta kasih dan itulah nanti yang akan memurnikan hasrat keduanya. Kebebasan “berekspresi” keduanya hendaklah dilihat dalam sebuah hubungan yang “disetujui” oleh budaya masyarakat pada masa itu. [it]

Pelajaran Dibalik Kesulitan

 

Masalah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan ketika seseorang mengambil keputusan untuk mengikut Kristuspun ia akan terus menghadapi masalah demi masalah yang pada akhirnya membuat mereka mulai bertanya tentang keberadaan Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan menjadi hal yang sulit saat kehidupan kita berada dalam keadaan yang tidak baik. Keadaan ekonomi yang semakin sulit, kondisi pekerjaan tidak seperti yang diharapkan, jodoh yang tak kunjung datang, bahkan penolakan dari orang – orang di sekitar kita dan masih ada segudang masalah yang membuat kita ragu akan kebaikan Tuhan. Masa sulit juga pernah dialami oleh Daud. Ia mengalami pergumulan begitu besar yang sampai mengancam nyawanya saat dikejar-kejar oleh Saul dan ia berhasil melawatinya. Lalu bagaimanakah seharusnya kita bersikap dalam kesulitan yang kita alami seperti halnya Daud?

Satu hal yang pasti Tuhan mengijinkan kesulitan hidup adalah karena Tuhan mau melatih iman kita. Tanpa kesulitan iman kita tidak akan teruji. “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12). Tuhan mau melatih kualitas iman kita untuk percaya kepadaNya dalam segala kondisi dengan tetap menjalani tugas dan tanggungjawab dengan sebaik-baiknya. Percayalah, dalam melewati ujian – ujian hidup, kita tetap dituntun oleh Tuhan.

Tidak hanya menguji iman, kesulitan juga memiliki kekuatan untuk menyadarkan kita atas anugerah Tuhan. “Banyaklah yang telah Kau lakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatanMu yang ajaib dan maksudMu untuk kami” (mazmur 40:6). Seseorang bisa mengerti apa yang itu terang dengan tepat ketika terang itu dikontraskan dengan gelap. Kita dapat menyadari bahwa Tuhan itu baik karena kita pernah mengalami kesulitan dan Tuhan menolong. Dengan mengalami masa sulit inilah Daud menghasilkan Mazmur yang begitu indah. Anugerah Tuhan juga muncul dari kesulitan-kesulitan yang kita alami.

Mari kita renungkan kebenaran – kebenaran ini. Allah telah memilih, merencanakan dan menyediakan yang terbaik dalam kehidupan kita.[lm]

Menemukan Hidup Baru

 

Apa yang kau cari dalam hidupmu? Harta dan kekayaankah? Ketika engkau engkau sudah menggenggamnya, adakah hatimu akan merasa cukup? Ataukah engkau sedang mencari pasangan hidup yang sempurna? Jika engkau sudah merasa mendapatkannya, sungguhkah itu membuatmu bersukacita? Mungkin engkau sedang mencari kedudukan yang tinggi? Saat engkau sudah mencapainya, merasa puaskah hatimu?

Apakah yang sesungguhnya dicari oleh manusia di dunia? Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh hatinya?

Untuk setiap pergantian hari, pergantian tahun, pertambahan usia, memasuki pernikahan, semua orang selalu mengharapkan bahwa mereka akan menemukan kehidupan baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Lantas seperti apakah kehidupan baru yang sejatinya menjadi kebutuhan manusia? Tentu bukan kehidupan yang hanya bergelimangan harta, juga bukan karena adanya manusia sempurna yang menjadi pendamping hidup sebab sosok seperti itu tidak mungkin ada, apalagi hanya sebuah kedudukan. Itu semua hanyalah sebagai pelengkap dalam perjalanan panjang kehidupan manusia. Semua orang membutuhkannya, pasti. Tetapi bukanlah hal yang paling esensi. Karena itu sekalipun telah memilikinya, manusia selalu merasakan masih ada yang kurang lengkap dalam hidupnya.

Kehidupan yang tentram dan penuh kedamaian, yaitu saat “syalom” hadir dalam hidup manusia. Inilah yang dirindukan oleh semua orang. Sebab tidak ada gunanya memiliki dunia ini jika syalom itu hilang. Lalu dimanakah manusia dapat menemukannya? Saya teringat dengan lagu yang sangat saya sukai saat masih di Sekolah Minggu dan bahkan sampai sekarang;

“Ke gunung tinggi, kunaik naik naik mencari damai
Ke lembah jurang, kuturun turun turun mencari damai
Namun akhirnya damai tiada kudapati juga
Kecuali hanya di dalam Yesus Tuhan.”

Amsal mengatakan, “Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya” (Amsal 14:26). Kehidupan baru yang penuh dengan syalom hanya bisa didapatkan dalam sikap takut akan Tuhan dengan iman di dalam Yesus Kristus.

Memasuki usia pelayanan yang ke 63 tahun tepat di tanggal 9 Februari 2017, Lembaga Alkitab Indonesia terus berupaya untuk menghadirkan Tuhan Sang Pembawa syalom kepada seluruh umat di Indonesia melalui penyebaran Alkitab. Sebab hanya di dalam dan melalui firman-Nyalah manusia dapat menemukan Tuhan dan damai itu secara utuh. [it]

Selamat Ulang Tahun Lembaga Alkitab Indonesia.
Teruslah berkarya menghadirkan firman Tuhan bagi Indonesia.

Opertunis

 

Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. (Ayub 2:10)

Oportunis adalah orang yang menganut paham oportunisme. Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki untung / kebaikan hanya demi diri sendiri atau kelompoknya. Dalam hal tertentu, wajar dan perlu orang berpikir untung rugi, misalkan dalam berdagang, memilih pekerjaan, dan seterusnya. Namun akan rusak, jika kalkulasi untung rugi terutama secara materi diterapkan dalam hal berteman, urusan adat, pelayanan bahkan hubungan dengan Tuhan. Berteman dengan seseorang saat dia kaya, waktu miskin lalu ditinggal. Selalu mendekat dengan seseorang saat dia punya jabatan, saat pensiun dilupakan. Itu satu ciri oportunis. Dalam hidupnya Ayub pernah mengalami situasi buruk, ditimpa berbagai bencana, kemalangan dan sakit penyakit. Dalam situasi seperti itu Ayub tetap berusaha menjadi orang saleh, dia tidak meninggalkan Tuhan. Lalu istrinya marah dan kepadanya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (ayat 9). Jawaban yang luar biasa dari Ayub. Apakah kita hanya mau menerima yang baik saja dari Allah, tetapi tidak mau yang buruk?

Satu teladan keteguhan iman. Ayub bukan oportunis. Ilmu manajemen mengajarkan kita banyak logika dan termasuk hitungan untung rugi. Kita perlu hikmat menerapkan itu dalam terang firman Tuhan. Karena jika semua hal dalam hidup ini kita lakukan dengan kalkulasi untung rugi, maka itu bisa jadi berhala dalam hidup kita. Ketaatan kepada Tuhan melebihi kalkuasi untung rugi. Itu yang Tuhan Yesus lakukan di kayu salib. Pengorbanan karena kasih. Jangan jadi oportunis. Mari belajar kepada teladan Tuhan Yesus.[us]