(1 Kor. 4: 2)
Kepercayaan merupakan salah satu persoalan sentral di zaman kita. Richard Edelman, CEO Edelman Trust Barometer, dalam tulisannya di majalah The Economist (2017) menyebutkan bahwa krisis kepercayaan yang masif sedang melanda dunia kita dalam berbagai bidang kehidupan, dari ranah politik, ekonomi, hingga ranah sosio-kultural. Dalam ranah yang terakhir ini termasuk ranah keagamaan yang belakangan ditandai teror-teror yang menghalalkan kekerasan atas nama keyakinan sehingga memicu pertanyaan kritis tentang peran negatif agama bagi kehidupan yang berkeadaban.
Ditelisik dari perspektif teologis-biblis, harus diakui bahwa krisis kepercayaan seperti itu telah berusia setua umat manusia. Alkitab bercerita, manusia pertama diberi kepercayaan untuk mengelola dunia ciptaan Tuhan dan diberi janji berkat dengan hanya satu syarat: menghormati batas yang digariskan Pencipta. Namun, godaan untuk melampaui batas itu sering muncul dan menimbulkan krisis kepercayaan dalam bentuk keraguan terhadap itikad Pencipta sendiri. Akibat krisis kepercayaan ini terdeteksi dalam lembar-lembar panjang sejarah umat manusia.
Dunia kerja tidak luput dari krisis yang serupa. Seperti yang digambarkan oleh Rasul Paulus, persoalan terdalamnya berakar pada keterbelahan antara kehendak dan tindakan: “Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik” (Rm. 7:18). Dilema yang terdalam ini kerap menampilkan diri dalam berbagai bentuk standar ganda: kejujuran sekaligus kemunafikan, ketulusan sekaligus kelicikan, kesungguhan sekaligus ketidakpedulian. Namun, sebagai umat percaya, keterbelahan eksistensial ini tidak hanya melahirkan teriak putus asa, sebab jalan baru penuh pengharapan ditawarkan pula kepada umat beriman di dalam Kristus Yesus (Rm. 7:24-25).
Bagi umat percaya, dunia kerja niscaya termasuk wilayah yang diresapi oleh nilai-nilai baru yang muncul dari etika hidup baru (Rm. 12:1-2). Manifestasi etika baru ini semestinya turut mendorong proses transformasi ruang kerja, berikut berbagai dinamika di dalamnya. Kerja menemukan orientasinya yang baru karena dilakukan bukan sekadar untuk mencari nafkah melainkan untuk Tuhan: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23). Kata-kata kuncinya “untuk Tuhan” dan “dengan segenap hati” meletakkan landasan yang teramat penting bagi etos kerja Kristiani. Nilai utama yang menggerakkan dan menginspirasi perilaku di dunia kerja bagi umat beriman bukan hanya apa yang ingin dicapai sebagai hasil akhir dari proses-proses kerja melainkan juga Siapa yang diyakini sebagai Penguji segala karya manusia pada akhirnya (1 Kor. 3:13).
Konsekuensinya, setiap orang percaya terpanggil untuk menjadi mitra kerja Allah yang tepercaya, dapat diandalkan, dan tahan uji. Kesadaran ini mendorong kita untuk bekerja sepenuh hati, penuh tanggung jawab bukan saja kepada manusia tetapi kepada Dia yang melibatkan kita sebagai mitra-Nya, perpanjangan tangan-Nya di dunia. Dengan cara yang sama, selaku lembaga pelayanan Kristiani, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), selayaknya berkomitmen untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas dalam seluruh program pelayanannya sebagai mitra Gereja dan umat Tuhan dalam menghadirkan Firman Allah bagi semua orang. Seperti yang dikemukakan Paulus, rasul yang telah teruji oleh berbagai kesulitan dan penderitaan, ”Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor. 4:2).
Di usia yang ke-64 tahun, LAI sepatutnya bersyukur sembari memperbarui komitmennya untuk menjadi mitra tepercaya dalam menghadirkan Kabar Baik di Nusantara: Sejauh mana LAI dengan seluruh jajarannya telah mengoptimalkan segala karunia dan potensi yang dipercayakan Tuhan untuk bekerja tuntas penuh integritas agar dapat memberikan layanan terbaik demi mendukung penyebaran Kabar Baik? Di era yang ditandai oleh derasnya gelombang kompetisi, bagaimana LAI tetap dapat menjaga integritas pelayanannya dan tidak terjebak pada sikap pragmatis, apalagi hanya demi kepentingan finansial dan komersial yang kerap menyusup dalam kegiatan-kegiatan usaha sejenis? Singkatnya, diperlukan pembaruan komitmen dan etos kerja terus-menerus untuk merawat dan meningkatkan kepercayaan umat penggunaan Alkitab terhadap LAI. Untuk itu, diperlukan keterbukaan yang sungguh-sungguh untuk menerima saran dan kritik dari umat pengguna Alkitab, LAI dapat tetap berperan sebagai mitra tepercaya dalam menghadirkan Kabar Baik lewat pengadaan Alkitab dan materi-materi berbasis Alkitab. [AT]