

Bagi mereka yang sering berpetualang dengan mendaki gunung pasti tahu apa gunanya api unggun. Saat malam hari menikmati suasana kebersamaan di puncak gunung, rasanya kurang lengkap kalau tidak menyalakan api unggun. Duduk bersama dengan mengelilingin api unggun, saling berkenalan lebih jauh, saling bercerita tentang pengalaman pribadi atau banyak hal. Kehangatan yang dipancarkan oleh nyala api akan mencairkan suasana dan menyempurnakan kebersamaan.
Tuhan telah menciptakan manusia sebagai Homo Homini Socius yang mana sudah menjadi kodratnya untuk berinteraksi dan menjalin hubungan dengan sesamanya. Hubungan ini tidak bisa dilepaskan sepanjang hidup manusia. Jika ada yang dengan paksa melepaskan dirinya dari hubungan sosial ini maka ia akan kehilangan sebagian besar dari sisi terpenting hidupnya itu sendiri. Ada begitu banyak bentuk hubungan antara manusia, seperti hubungan keluarga, yang meliputi hubungan orang tua dengan anak, hubungan suami dengan istri, hubungan antar saudara. Ada juga hubungan pertemanan biasa sampai hubungan sebagai sahabat karib. Begitu kompleks hubungan antar manusia ini sehingga sangat diperlukan upaya besar untuk menjaganya.
Allah sebagai sumber dari cinta kasih mengaruniakan cinta dalam hati setiap anak manusia, agar dengan begitu mereka dapat merawat relasi sosialnya. Kidung cinta yang ditulis oleh Salomo di masa mudanya kepada seorang wanita pujaan hatinya menjadi salah satu gambaran cinta kasih dalam diri manusia. Hubungan keduanya dibangun di atas cinta kasih yang dapat terlihat dari setiap pujian yang disampaikan berbalas-balasan. Tanpa canggung mereka saling memuji, yang memang tidak dapat disangkali bahwa dalam kemudaannya sisi seksualitaslah menjadi yang paling menonjol. Terlihat bahwa gairah cinta masa muda begitu membara dalam diri mereka dengan begitu hangatnya. Sang Putri Sulam mengungkapkan, “…karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!” Begitu kuat mencengkeram layaknya harimau buas yang mencengkeram mangsanya.
Secara umum, permulaan suatu hubungan memang akan terasa begitu menggebu, cinta yang begitu besar, hasrat yang membara, serta keinginan untuk selalu bersama akan begitu kuat. Tetapi semuanya itu akan teruji dengan waktu dan berbagai tantangan. Namun terkadang apa yang dimulai dengan begitu hangat lambat laun akan menjadi dingin hingga membeku. Seperti sebuah kapal yang mengarungi samudera luas, jika sanggup menghadapi gelombang dan hantaman badai maka dapat dipastikan akan sampai ke pantai impian, namun jika gagal, maka akan karam dan atau tenggelam, hilang tanpa jejak. Jika sudah begitu, lantas apakah yang harus dilakukan?
Kita semua pasti tahu bagaimana kisah cinta antara Amnon dan Tamar. Cinta atau mungkin lebih tepatnya gairah yang timbul pada diri Amnon terhadap Tamar terjadi atas daya tarik fisik. Gairah seksual seorang pemuda melihat kecantikan (atau kemolekan) dari Tamar yang ingin segera dilepaskannya. Keinginan yang tidak didasari oleh cinta kasih yang murni ini akhirnya berbuahkan dosa percabulan dan berakhir dengan kebencian. Amnon sangat benci kepada Tamar. Dalam konteks Kidung Agung, maka hubungan antara Salomo dan putri Sulam diawali dengan sebuah ikatan cinta kasih dan itulah nanti yang akan memurnikan hasrat keduanya. Kebebasan “berekspresi” keduanya hendaklah dilihat dalam sebuah hubungan yang “disetujui” oleh budaya masyarakat pada masa itu. [it]
Masalah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan ketika seseorang mengambil keputusan untuk mengikut Kristuspun ia akan terus menghadapi masalah demi masalah yang pada akhirnya membuat mereka mulai bertanya tentang keberadaan Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan menjadi hal yang sulit saat kehidupan kita berada dalam keadaan yang tidak baik. Keadaan ekonomi yang semakin sulit, kondisi pekerjaan tidak seperti yang diharapkan, jodoh yang tak kunjung datang, bahkan penolakan dari orang – orang di sekitar kita dan masih ada segudang masalah yang membuat kita ragu akan kebaikan Tuhan. Masa sulit juga pernah dialami oleh Daud. Ia mengalami pergumulan begitu besar yang sampai mengancam nyawanya saat dikejar-kejar oleh Saul dan ia berhasil melawatinya. Lalu bagaimanakah seharusnya kita bersikap dalam kesulitan yang kita alami seperti halnya Daud?
Satu hal yang pasti Tuhan mengijinkan kesulitan hidup adalah karena Tuhan mau melatih iman kita. Tanpa kesulitan iman kita tidak akan teruji. “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:12). Tuhan mau melatih kualitas iman kita untuk percaya kepadaNya dalam segala kondisi dengan tetap menjalani tugas dan tanggungjawab dengan sebaik-baiknya. Percayalah, dalam melewati ujian – ujian hidup, kita tetap dituntun oleh Tuhan.
Tidak hanya menguji iman, kesulitan juga memiliki kekuatan untuk menyadarkan kita atas anugerah Tuhan. “Banyaklah yang telah Kau lakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatanMu yang ajaib dan maksudMu untuk kami” (mazmur 40:6). Seseorang bisa mengerti apa yang itu terang dengan tepat ketika terang itu dikontraskan dengan gelap. Kita dapat menyadari bahwa Tuhan itu baik karena kita pernah mengalami kesulitan dan Tuhan menolong. Dengan mengalami masa sulit inilah Daud menghasilkan Mazmur yang begitu indah. Anugerah Tuhan juga muncul dari kesulitan-kesulitan yang kita alami.
Mari kita renungkan kebenaran – kebenaran ini. Allah telah memilih, merencanakan dan menyediakan yang terbaik dalam kehidupan kita.[lm]
Apa yang kau cari dalam hidupmu? Harta dan kekayaankah? Ketika engkau engkau sudah menggenggamnya, adakah hatimu akan merasa cukup? Ataukah engkau sedang mencari pasangan hidup yang sempurna? Jika engkau sudah merasa mendapatkannya, sungguhkah itu membuatmu bersukacita? Mungkin engkau sedang mencari kedudukan yang tinggi? Saat engkau sudah mencapainya, merasa puaskah hatimu?
Apakah yang sesungguhnya dicari oleh manusia di dunia? Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh hatinya?
Untuk setiap pergantian hari, pergantian tahun, pertambahan usia, memasuki pernikahan, semua orang selalu mengharapkan bahwa mereka akan menemukan kehidupan baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Lantas seperti apakah kehidupan baru yang sejatinya menjadi kebutuhan manusia? Tentu bukan kehidupan yang hanya bergelimangan harta, juga bukan karena adanya manusia sempurna yang menjadi pendamping hidup sebab sosok seperti itu tidak mungkin ada, apalagi hanya sebuah kedudukan. Itu semua hanyalah sebagai pelengkap dalam perjalanan panjang kehidupan manusia. Semua orang membutuhkannya, pasti. Tetapi bukanlah hal yang paling esensi. Karena itu sekalipun telah memilikinya, manusia selalu merasakan masih ada yang kurang lengkap dalam hidupnya.
Kehidupan yang tentram dan penuh kedamaian, yaitu saat “syalom” hadir dalam hidup manusia. Inilah yang dirindukan oleh semua orang. Sebab tidak ada gunanya memiliki dunia ini jika syalom itu hilang. Lalu dimanakah manusia dapat menemukannya? Saya teringat dengan lagu yang sangat saya sukai saat masih di Sekolah Minggu dan bahkan sampai sekarang;
“Ke gunung tinggi, kunaik naik naik mencari damai
Ke lembah jurang, kuturun turun turun mencari damai
Namun akhirnya damai tiada kudapati juga
Kecuali hanya di dalam Yesus Tuhan.”
Amsal mengatakan, “Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya” (Amsal 14:26). Kehidupan baru yang penuh dengan syalom hanya bisa didapatkan dalam sikap takut akan Tuhan dengan iman di dalam Yesus Kristus.
Memasuki usia pelayanan yang ke 63 tahun tepat di tanggal 9 Februari 2017, Lembaga Alkitab Indonesia terus berupaya untuk menghadirkan Tuhan Sang Pembawa syalom kepada seluruh umat di Indonesia melalui penyebaran Alkitab. Sebab hanya di dalam dan melalui firman-Nyalah manusia dapat menemukan Tuhan dan damai itu secara utuh. [it]
Selamat Ulang Tahun Lembaga Alkitab Indonesia.
Teruslah berkarya menghadirkan firman Tuhan bagi Indonesia.
Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. (Ayub 2:10)
Oportunis adalah orang yang menganut paham oportunisme. Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki untung / kebaikan hanya demi diri sendiri atau kelompoknya. Dalam hal tertentu, wajar dan perlu orang berpikir untung rugi, misalkan dalam berdagang, memilih pekerjaan, dan seterusnya. Namun akan rusak, jika kalkulasi untung rugi terutama secara materi diterapkan dalam hal berteman, urusan adat, pelayanan bahkan hubungan dengan Tuhan. Berteman dengan seseorang saat dia kaya, waktu miskin lalu ditinggal. Selalu mendekat dengan seseorang saat dia punya jabatan, saat pensiun dilupakan. Itu satu ciri oportunis. Dalam hidupnya Ayub pernah mengalami situasi buruk, ditimpa berbagai bencana, kemalangan dan sakit penyakit. Dalam situasi seperti itu Ayub tetap berusaha menjadi orang saleh, dia tidak meninggalkan Tuhan. Lalu istrinya marah dan kepadanya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (ayat 9). Jawaban yang luar biasa dari Ayub. Apakah kita hanya mau menerima yang baik saja dari Allah, tetapi tidak mau yang buruk?
Satu teladan keteguhan iman. Ayub bukan oportunis. Ilmu manajemen mengajarkan kita banyak logika dan termasuk hitungan untung rugi. Kita perlu hikmat menerapkan itu dalam terang firman Tuhan. Karena jika semua hal dalam hidup ini kita lakukan dengan kalkulasi untung rugi, maka itu bisa jadi berhala dalam hidup kita. Ketaatan kepada Tuhan melebihi kalkuasi untung rugi. Itu yang Tuhan Yesus lakukan di kayu salib. Pengorbanan karena kasih. Jangan jadi oportunis. Mari belajar kepada teladan Tuhan Yesus.[us]