Ambe…Ambe…Tolong Kami Menyeberang

title

Masih seputar pelayanan kami di pedalaman Boven Digoel bersama dengan Lembaga Alkitab Indonesia.

Waktu itu, kami baru menyelesaikan perjalanan dengan jalan kaki menembus hutan pergi pulang ke kampung Yetetkun dari Ninati. Dari Ninati kami harus menyebrang sungai yang airnya lumayan deras. Kembali dari pelayanan ke Yetetkun, hari sudah gelap. Kami sampai di tepi sungai dan ternyata ketinggian air sungai meningkat dibanding pagi tadi ketika kami berangkat. Alat penyeberangan hanyalah rakit, namum tidak ada yang bisa mengoperasikannya karena memang tidak ada orang lagi selain kami. Salah seorang anggota tim pun berteriak minta tolong kepada warga yang tinggal di seberang sungai (wilayah Ninati). "Ambe... Ambe.. Tolong kami menyebrang, bisakah?", demikian teriaknya berulang-ulang. (Ambe: artinya Bapak). Lumayan lama kami menunggu dan anggota tim, namanya Pdt Alon, terus berteriak. Sementara itu nyamuk dan serangga hutan sudah mulai mengerubuti dan menggigit kami. Kurang lebih 30an menit kemudian ada sahutan dari seberang, "yoi...sebentar. Ambil dayung dulu!" Kira-kira 10 menit kemudian, datanglah seseorang dengan nyala bara rokok yang sangat nampak dalam kegelapan. Pdt. Alon kembali berteriak, "Ambe, tolong kami kah?" "Yoi, sebentar dulu!", sahutnya dari seberang tepi sungai.

Orang itu mendayung kole-kole (sampan dari batang pohon yang dipahat dengan ketebalan kurang lebih 5 cm). Begitu sampai di tepi sungai tempat kami berdiri, kami baru tahu bahwa yang menduyung sampan itu adalah seorang ibu. Pdt Alon segera berseru, "Aduh Enang terimakasih mau tolong kami". Enang (Artinya ibu) itu menyahut, "cepat sedikit, air su mulai deras, mama tidak sanggup tarik rakit terlalu berat, jadi mama pakai kole-kole ini". Ia melanjutkan, "yang badan besar naik satu, yang badan kecil bisa dua. Nanti kole-kole terbalik dan tenggelam!" Wow, teriakan si Enang menggetarkan hati kami juga, terbayang arus air mulai deras dan ancaman sampan terbalik.

Pertama yang naik adalah istri saya dan Pdt Alon. Begitu naik ke kole-kole, si Enang berteriak, "langsung duduk, nanti sampan terbalik!" nampak kedua penumpang langsung duduk dan terdiam.

Sekarang giliran saya, kembali si Enang berteriak, "pak pendeta satu orang saja, nanti sampan tenggelam!" Dalam hati saya berpikir, "sebesar apa sih badan saya, sampai-sampai kole-kole bisa tenggelam?" Namun saya tidak berani berdebat, yang terpikir adalah segera sampai ke seberang dan segera lanjut perjalanan ke Tanah Merah. Kembali si Enang berkata, "sudah langsung duduk, pak pendeta. Diam sa di situ" Lengkap sudah kepanikan saya. Dengan sigap si Enang mendayung dan bermanuver mengatasi derasnya arus, dan beberapa saat kemudian kami sudah sampai di seberang sungai. Setelah itu si Enang kembali mendayung untuk menjemput dan menyebrangkan anggota tim yang lainnya sampai semua tiba di seberang. Sekali lagi sebuah pengalaman yang mengubahkan saya.

Dari penyeberangan ini, saya belajar arti percaya bahwa Tuhan menolong tepat pada waktunya. Tepat seperti yang diimani oleh Pemazmur, "Pertolonganku ialah dari TUHAN.... tidak terlelap dan tidak tertidur Panjaga Israel. Tuhanlah penjagamu..." (Maz. 121).

Yang kedua, tentang keseimbangan. Tubuh yang kaku tidak dapat mengikuti akselerasi gerakan kole-kole dan bisa menyebabkan kole-kole terbalik. Bagi saya kole-kole telah mengajarkan agar kita tetap menjaga keseimbangan dalam hidup. Kapan saat harus diam dan kapan saat berkarya. Bukankah Tuhan Yesus juga perlu waktu untuk diam sejenak di tengah karya-Nya? Tuhan pernah mengatakan kepada para murid, "Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahat seketika!" (Mark. 6:31).

Terimakasih Tuhan untuk pengalaman iman yang dahsyat ini. Juga tentunya terimakasih Enang yang sudah menjadi tangan Tuhan untuk menyeberangkan kami. [guruh]

Refleksi Boven Digoel

title

Meskipun saya sudah berada kembali di Jakarta, namum pengalaman pelayanan di pedalaman Boven Digoel masih sangat membekas dalam ingatan.

Suatu kali di sebuah Distrik yang bernama Ninati, tim kami berkunjung ke sebuah sekolah dasar yang diampu oleh sebuah Yayasan Pendidikan Kristiani. Dalam interaksi singkat dengan para murid, kami terkaget dengan sebuah jawaban lantang seorang murid. Waktu itu salah seorang amggota tim SDK LAI melontarkan pertanyaan, "Tuhan Yesus lahir di kota mana?" Suasana segera sepi karena tidak ada seorang anakpun yang menjawab. Tiba-tiba seorang anak mengangkat jari dan berseru dengan lantang, "saya tahu, mama. Jawa Barat!". Jawaban itu tentu membuat semua anggota tim tertawa, namun tidak demikian dengan anak-anak.

Kami baru tahu kemudian, bahwa dengan tidak adanya Alkitab di tangan mereka, maka mereka tidak mempunyai sumber informasi bagi pertumbuhan iman mereka. Bahkan yang memprihatinkan adalah mereka tidak mempunyai kelas Sekolah Minggu. Kalaupun ada, sering 'bolong'-nya daripada ber-isi-nya. Kondisi ini juga terjadi di desa Yetetkun, kurang lebih 5 km sebelum perbatasan PNG.

Dibutuhkan kesehatian bersama agar kehausan akan pembinaan iman di wilayah pedalaman dapat dipenuhi. Bukankah orang yang selalu membaca dan merenungkan firman Tuhan ibarat pohon yang ditanam di tepi aliran sungai? (bdk. Maz. 1). Dibutuhkan kesehatian kita agar Alkitab bisa sampai kepada mereka yang sangat membutuhkan.

Selamat berjuang, Saudaraku. Selamat merenda rencana seminggu ke depan. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Salam: Guruh dan keluarga.

Renungan Perjalanan Satu Dalam Kasih Ke Digoel

title

Perjumpaan dengan saudara-saudara seiman di enam distrik (Waropko, Nenati, Yetetkun, Kouh, Bomakia, Fovi, & Butiptiri), kabupaten Boven Digoel, Papua selama 9 hari lalu (30 September s/d. 9 Oktober 2018) menjadi sebuah persinggahan penuh makna dalam peziarahan spiritual diri ini. Perjalanan berjam-jam di atas transportasi udara, air dan darat bahkan berjalan kaki berkilo-kilo meter dengan bertelanjang kaki, tidak sama sekali membuat hasrat ini ingin mengeluh dan menyerah.

Teriknya matahari yang membakar kulit, rasa khawatir jika sewaktu-waktu adanya buaya yang muncul ke permukaan sungai dan rasa lelah karena perjalanan panjang, semua tidak berarti ketika melihat banyak umat Tuhan yang bersukacita, menangis haru, bersyukur, memeluk Alkitab yang telah kami bawa sebagai titipan dari jemaat Tuhan yang telah mau berbagi untuk sesamanya.
Ternyata Alkitab yang selama ini bagi sebagian orang dianggap sebagai "barang" biasa dan mudah diperoleh, tidak bagi saudara-saudara kita di pedalaman. Bagi mereka memperoleh Alkitab adalah suatu anugerah dan jawaban atas doa-doa yang mereka panjatkan selama berpuluh-puluh tahun. Mereka menciumi dan memeluk Alkitab yang telah mereka peroleh dengan penuh hormat, sebagai tanda betapa mereka bersyukur bisa mendapatkannya.

Bukan sebagai buku, tetapi sebagai Sabda Tuhan yang diimani dapat memberikan kehidupan.
Bagaimana dengan mu? masihkah?

Ada banyak makna hidup yang mempertajam kehidupan spiritual selama perjalanan itu. Melalui perjumpaan dengan mereka, aku berjumpa dengan Allah yang mau menjumpai umat Nya dalam segala kondisi. Allah yang memanggil setiap umat untuk saling mengasihi, menopang dan berbagi dalam segala kondisi sebagai wujud cinta kasih. Allah yang turut merasa seperti umat Nya.

Terima kasih untuk setiap umat Tuhan yang telah ikut berdoa, mendukung dan berdonasi untuk umat Tuhan di pedalaman melalui Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kiranya Tuhan menyempurnakan pelayanan bersama ini.[elkahana]

Mewartakan Kabar Baik Sampai Ke Perbatasan Papua Nugini

title

Di tengah belantara yang belum tersentuh di ujung timur tanah Papua, terletak dusun Yetetkun. Di dusun kecil dan terpencil ini berdiri sebuah Gereja Katolik, di mana seluruh penduduknya beribadah pada Tuhan di dalam bangunan itu. Umat Katolik di Yetetkun dilayani oleh Dewan Paroki Distrik Waropko yang jaraknya setengah hari perjalanan. Dusun Yetetkun adalah dusun terakhir di wilayah Indonesia, jaraknya hanya sekitar 5 kilometer dari perbatasan Papua Nugini. Umat Katolik di dusun Yeyetkun adalah salah satu dari jemaat-jemaat yang ada di Kabupaten Boven Digoel, Papua yang menerima Alkitab dukungan Program Satu Dalam Kasih LAI.

Untuk sampai ke dusun Yetetkun, Tim SDK LAI terdiri dari Tim LAI Jakarta, LAI Perwakilan Jayapura dan Mitra pendukung LAI memulai perjalanan dari kota Tanah Merah menuju Distrik Waropko kemudian dilanjutkan ke Distrik Nenati. Setelah menginap semalam di Nenati, perjalanan ke dusun Yetetkun dilanjutkan dengan jalan kaki sepanjang 6 km menembus ganasnya belantara Papua selatan.

Mengingat perjalanan menembus rimba ini cukup berbahaya sehingga Tim SDK LAI harus dikawal oleh satu regu pasukan tentara bersenjata. Di Nenati ada pos tentara yang menjaga perbatasan. Tentara yang kami jumpai sangat bersahaja dan sangat dekat dengan masyarakat.

Tim SDK LAI sangat bersyukur karena para tentara dan warga yang membantu membawa beberapa karung Alkitab, Setelah menyeberangi sungai dan melewati perjalanan berlumpur di tengah hutan kami tiba di dusun Yetetkun, di Yetetkun inilah kami membagikan Alkitab untuk setiap keluarga dan juga komik cerita Alkitab untuk anak anak. Kami juga menyerahkan satu paket bahan pengajaran sekolah minggu. Tak lupa kami memberikan juga Alkitab Edisi Studi untuk membantu pemimpin umat mempersiapkan bahan renungan bagi umat.

Tim SDK LAI selama sembilan hari tanggal 1-9 Oktober 2018 menjelajah wilayah Boven Digoel untuk menyebarkan sekitar 10.000-an Alkitab dan Bagian-bagian dukungan program SDK LAI dan dusun Yetetkun adalah satu dari puluhan lokasi yang disambangi oleh Tim SDK LAI.

Kenapa Tim SDK LAI mau berjerih lelah keluar masuk hutan belantara hanya untuk umat Tuhan di Yetetkun? Sudah menjadi visi LAI untuk menghadirkan Alkitab untuk semua orang. Alkitab memang untuk semua orang, baik dewasa maupun anak-anak, baik di kota sampai pelosok negeri. Kami akan terus melakukan misi ini, karena masih banyak orang yang rindu sekaligus kesulitan mengakses Kabar Baik Firman Tuhan ini, bagaimana dengan anda?.[ori]

Penyebaran Alkitab SDK ke Boven Digoel & Solidaritas Sulteng

Tiga buah kendaraan double gardan yang siap menemani Tim SDK LAI menyebarkan Alkitab di pedalaman Boven Digoel, Papua.

title

Pikiran dan hati terpecah antara Sulawesi Tengah dan Boven Digoel. Betapa tidak. Pemulihan kondisi pasca gempa Lombok belum pulih seratus persen, tiba-tiba gempa dahsyat dan tsunami secara mengejutkan melanda Palu dan Donggala. Jadwal pelayanan program penyebaran Alkitab Satu Dalam Kasih (SDK) ketiga 2018 (sesudah Sumba Timur dan Halmahera Barat) yang diarahkan ke Kabupaten Boven Digoel Papua harus tetap dijalankan. Belarasa dan solidaritas kepada para korban gempa dan tsunami Sulawesi Tengah juga harus terus digerakkan demi kemanusiaan.

Perjalanan SDK 30 September - 9 Oktober 2018 sudah dimulai. Perjalanan diawali dengan pesawat besar dari Jakarta-Merauke dan transit di Makassar pada tengah malam. Kemudian sesudah menunggu enam jam di Merauke disambung dengan pesawat kecil menuju Tanah Merah Ibu kota Kabupaten Boven Digoel. Dari Jakarta tanggal 30 September malam dan sampai Tanah Merah tanggal 1 Oktober sore. Sekira 18 jam. Malamnya diadakan acara kebaktian pembukaan SDK di GKI Di Tanah Papua Jemaat Sion Tanah Merah dan dilanjutkan dengan pemberian Alkitab secara simbolik kepada perwakilan 8 denominasi Gereja yang menjadi sasaran penyebaran Alkitab. Acara yang juga dihadiri wakil Pemda Boven Digoel sangatlah mengharukan, karena ada seorang penginjil yang bercerita bahwa umat di daerah penginjilannya sudah menunggu puluhan tahun untuk mendapatkan Alkitab. Puji Tuhan kali ini ada dermawan para mitra LAI yang dikirim Tuhan untuk membawa Alkitab.

Hari ini 2/10/2018 pengiriman Alkitab ke pedalaman Boven Digoel tepatnya ke daerah Nenati yang melewati Timbutka dan Waropko akan ditempuh sekira 5 jam dengan mobil double gardan dan berjalan kaki beberapa kilometer. Kembali besoknya melewati Yetetkun dan lanjut ke Tanah Merah lagi. Perjalanan ke Kouh, Bomakia, dan Fofi akan ditempuh dengan kapal kecil menyusuri sungai Digoel dan dilanjutkan dengan sepeda motor plus berjalan kaki. Dalam perjalanan kali ini Tim terdiri atas 6 orang dari Jakarta dan 2 orang dari Perwakilan Jayapura yang membawa 13.600 Alkitab dan 40 paket buku-buku plus media belajar Sekolah Minggu.

Untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebangsaan, setelah usai pengiriman semua Alkitab, pada hari terakhir Tim SDK merencanakan untuk mampir ke Rumah Tahanan Bung Hatta yang digunakan pada tahun 1940an di Pinggiran Sungai Digoel. Ada perpaduan nuansa religiusitas, kemanusiaan dan kebangsaan dalam perjalanan SDK kali ini. Medan yang tidak mudah, hati yang terpecah dan kenangan akan perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi bagian perjalanan 10 hari ke wilayah paling timur Indonesia. LAI akan terus mewujudkan "Alkitab Untuk Semua" sampai ke pelosok Nusantara agar FirmanNya hadir bagi setiap orang. Salam Alkitab Untuk Semua. []

Sigit Triyono (Sekum LAI)