Penyebaran Alkitab SDK ke Boven Digoel & Solidaritas Sulteng

Tiga buah kendaraan double gardan yang siap menemani Tim SDK LAI menyebarkan Alkitab di pedalaman Boven Digoel, Papua.

title

Pikiran dan hati terpecah antara Sulawesi Tengah dan Boven Digoel. Betapa tidak. Pemulihan kondisi pasca gempa Lombok belum pulih seratus persen, tiba-tiba gempa dahsyat dan tsunami secara mengejutkan melanda Palu dan Donggala. Jadwal pelayanan program penyebaran Alkitab Satu Dalam Kasih (SDK) ketiga 2018 (sesudah Sumba Timur dan Halmahera Barat) yang diarahkan ke Kabupaten Boven Digoel Papua harus tetap dijalankan. Belarasa dan solidaritas kepada para korban gempa dan tsunami Sulawesi Tengah juga harus terus digerakkan demi kemanusiaan.

Perjalanan SDK 30 September - 9 Oktober 2018 sudah dimulai. Perjalanan diawali dengan pesawat besar dari Jakarta-Merauke dan transit di Makassar pada tengah malam. Kemudian sesudah menunggu enam jam di Merauke disambung dengan pesawat kecil menuju Tanah Merah Ibu kota Kabupaten Boven Digoel. Dari Jakarta tanggal 30 September malam dan sampai Tanah Merah tanggal 1 Oktober sore. Sekira 18 jam. Malamnya diadakan acara kebaktian pembukaan SDK di GKI Di Tanah Papua Jemaat Sion Tanah Merah dan dilanjutkan dengan pemberian Alkitab secara simbolik kepada perwakilan 8 denominasi Gereja yang menjadi sasaran penyebaran Alkitab. Acara yang juga dihadiri wakil Pemda Boven Digoel sangatlah mengharukan, karena ada seorang penginjil yang bercerita bahwa umat di daerah penginjilannya sudah menunggu puluhan tahun untuk mendapatkan Alkitab. Puji Tuhan kali ini ada dermawan para mitra LAI yang dikirim Tuhan untuk membawa Alkitab.

Hari ini 2/10/2018 pengiriman Alkitab ke pedalaman Boven Digoel tepatnya ke daerah Nenati yang melewati Timbutka dan Waropko akan ditempuh sekira 5 jam dengan mobil double gardan dan berjalan kaki beberapa kilometer. Kembali besoknya melewati Yetetkun dan lanjut ke Tanah Merah lagi. Perjalanan ke Kouh, Bomakia, dan Fofi akan ditempuh dengan kapal kecil menyusuri sungai Digoel dan dilanjutkan dengan sepeda motor plus berjalan kaki. Dalam perjalanan kali ini Tim terdiri atas 6 orang dari Jakarta dan 2 orang dari Perwakilan Jayapura yang membawa 13.600 Alkitab dan 40 paket buku-buku plus media belajar Sekolah Minggu.

Untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebangsaan, setelah usai pengiriman semua Alkitab, pada hari terakhir Tim SDK merencanakan untuk mampir ke Rumah Tahanan Bung Hatta yang digunakan pada tahun 1940an di Pinggiran Sungai Digoel. Ada perpaduan nuansa religiusitas, kemanusiaan dan kebangsaan dalam perjalanan SDK kali ini. Medan yang tidak mudah, hati yang terpecah dan kenangan akan perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi bagian perjalanan 10 hari ke wilayah paling timur Indonesia. LAI akan terus mewujudkan "Alkitab Untuk Semua" sampai ke pelosok Nusantara agar FirmanNya hadir bagi setiap orang. Salam Alkitab Untuk Semua. []

Sigit Triyono (Sekum LAI)

Digital Tanpa Sinyal

Pembagian Alkitab bahasa Yali Angguruk kepada umat

“Bagaimana kesan Bapak sesudah tiba dan menginap di Lembah Yali Angguruk ini?” tanya seorang jurnalis gereja yang mewancarai saya pagi sebelum matahari terbit (kamis, 18 Mei) di saat prosesi “bakar batu” menjelang acara peluncuran Alkitab  dalam Bahasa Yali Angguruk, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua.

“Saya benar-benar merasakan di sinilah terjadi paradoks ekstrem, yaitu ‘digital tanpa sinyal’!” jawab saya. Betapa tidak, para Pejabat Pemerintah, Pejabat Gereja, Wartawan, pilot, para turis, juga saya, dan Pdt Anwar Tjen,. Ph.D (Kepala Departemen Penerjemahan LAI) serta Bung Hendrik (staf Pengembangan Digital) semuanya membawa HP dan peralatan serba digital. Tapi ironisnya di lembah Yali Angguruk yang lokasinya terpencil dikepung oleh banyak gunung terjal, belum ada fasilitas listrik PLN dan apalagi sinyal HP.

Saya hadir di Yali Angguruk mewakili LAI atas undangan panitia peluncuran Alkitab bahasa Yali Angguruk (yang selesai diterjemahkan dalam kurun waktu 27 tahun) sekaligus perayaan lahirnya Klasis Yalimo GKI Di Tanah Papua yang ke 57 tahun. Saya tinggal satu malam di Yali Anggruk seperti menemukan suasana masa kecil saya di awal tahun 70an di perkampungan selatan Pulau Jawa. Listrik tidak ada, televisi dan radio belum musim, koran tidak pernah jumpa, jalan raya masih berlumpur dan sering banjir, sehari-hari pergi dengan telanjang kaki, mandi pun juga jarang karena sulit menemukan air bersih.

Saat ini sudah tahun 2018, tapi suasana di perkampungan Pulau Jawa tahun 70an tersebut masih saya jumpai di sini, dan malah lebih parah karena ada beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang masih setengah telanjang. Artinya ada ketertinggalan kemajuan hampir 50 tahun. Saya mendapat ceritera dari berbagai sumber kalau Lembah Yali Angguruk baru dijamah para misionaris pada tahun 1957. Pada tahun 1961 para misionaris bersama masyarakat berhasil membangun lapangan terbang perintis di antara gunung-gunung yang ada. Pada tahun 1963 baru ada satu guru sekolah dasar yang merangkap Guru Injil yang juga didatangkan oleh misionaris. Beliau adalah Onesimur Usior (73 tahun) dari Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua yang saat itu baru berusia 18 tahun dan baru menikah satu minggu.

“Karena syarat untuk dapat dikirim menjadi guru harus sudah lulus sekolah guru dan sudah menikah, maka sesudah lulus sekolah guru dan seminggu sebelum saya berangkat ke Yali Angguruk, saya menikah dulu”, jelas Pak Usior. Dengan adanya isteri yang mendampingi maka dia bisa bekerja lebih tenang dan betah di tempat yang masih sangat sunyi serta terpencil itu. Saat itu dia bekerja bersama Bapak Siegfried Zollner seorang misionaris dari Jerman.

“Saat saya datang pada tahun 1963, semua orang di Yali Angguruk tidak ada yang berpakaian”, kata Pak Usior yang sudah pensiun dari Guru sejak 2005 namun hingga saat ini masih aktif sebagai Guru Jemaat di Biak Timur, yang juga hadir di Yali Angguruk untuk menyaksikan peluncuran Alkitab dan Ulang Tahun Klasis Yalimo. Dulu masyarakat di sini masih suka berperang dengan masyarakat lainnya dan saling “memakan” pihak yang kalah. Sesudah mereka mengenal Injil dan dibaptis di tahun 1970 an, maka mereka bisa hidup damai, rukun dan tidak ada lagi peperangan. Namun demikian kemajuan masyarakat disini memang sangat lambat oleh karena lokasi Lembah yang sangat sulit dijangkau kecuali oleh pesawat perintis.

Adalah Bapak Freiderich Tometten, misionaris dari Jerman, Bapak Linus dan Bapak Esau (pengguna bahasa Yali Angguruk) yang menerjemahkan Perjanjian Lama. Juga Bapak Arnold Mohi, Bapak Kornelis Mohi, serta Bapak Tomas Ambolon yang menulis Perjanjian Baru. Pada tahapan akhir pekerjaan penerjemahan Alkitab ini, LAI terlibat dalam mensupervisi semua naskah yang ada untuk diterbitkan dan dicetak pada akhir tahun 2017 serta diluncurkan pada bulan Mei 2018.

Pekerjaan penerjemahan yang memakan waktu 27 tahun menghadirkan sukacita besar bagi masyarakat pengguna bahasa Yali Angguruk di Lembah Yahuli Atas, Tengah dan Bawah dari Lembah Ubahak. Juga dari Lembah Sibi, Pondeng, Hine/Korasarek. Tentu juga masayarat di Apahapsili: Lembah Habiye, Kulet, Pong, Werenggikma dan Lembah Welaek serta Elelim.

Bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan sangat dimudahkan bila menggunakan bahasa Ibu. Selain itu pelestarian bahasa Ibu juga sangat penting bagi identitas sebuah bangsa. Penerjemahan Alkitab ini adalah sebuah karya maha besar yang mencakup keutuhan hidup sebuah suku bangsa Yali Angguruk. Saya sangat bangga dan terharu dapat hadir dan menjadi bagian yang sangat kecil dalam karya kebersamaan ini. Saya terhenti sejenak dan hampir menangis saat memberikan sambutan.

Acara peluncuran Alkitab dan Ulang Tahun klasis yang diawali dengan prosesi “bakar batu” (memasak ubi-ubian, sayur-sayuran dan puluhan daging babi menggunakan batu-batu yang dibakar) berlangsung sangat meriah. Diiringi berbagai atraksi tarian khas masyarakat Yali, berdoa, menyanyi refleksi dan pembagian Alkitab serta sambutan-sambutan. Acara ini dihadiri oleh ribuan umat anggota GKI Di Tanah Papua, Plt Gubernur Papua dan rombongan, Bupati dan Pimpinan DPRD Yahukimo serta rombongan, Pimpinan Sinode GKI Tanah Papua dan rombongan, para Wartawan, para Turis, tentu juga saya, Pak Anwar dan Bung Hendrik dari LAI.

Digital tanpa sinyal adalah pertanda perjuangan masih sangat panjang. Termasuk perjuangan menerjemahkan, menerbitkan, dan menyebarkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia.
Salam Alkitab Untuk Semua.

Sigit Triyono (Sekum LAI)