Masalah pemimpin dan manager kembali mengemuka dalam debat capres di sebuah acara stasiun televisi swasta. Masing-masing Tim Sukses (timses) mengklaim bahwa jagonya adalah pemimpin yang tepat untuk Indonesia masa depan. Masing-masing timses meyakinkan rakyat, bahwa jagoan mereka lahir dari dan berproses bersama rakyat. Bahkan pihak oposisi menyebut capaian yang dilakukan oleh pemerintah merupakan keberhasilan Presiden sebagai manajer bukan Presiden sebagai pemimpin.
Diskursus tentang perbedaan pemimpin dan manajer memang tidak ada habisnya. Salah satu sebabnya adalah satu peran tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa keberadaan peran lain. Pemimpin yang tidak bisa mengelola (to manage) akan gagal dalam kepemimpinannya, sementara manajer yang tidak bisa memimpin (to lead) akan gagal dalam aktivitas manajerialnya. Namun sesungguhnya pemimpin (leader) dan manajer merupakan dua konsep yang berbeda dan terdapat perbedaan diantara keduanya.
Dalam bukunya “On Becoming a Leader”, Warren Bennis menulis tentang perbedaan penting antara pemimpin dan manajer. Menurutnya (1). Pemimpin melakukan inovasi pada organisasi, sedangkan manajer mengelola sebuah. (2). Pemimpin menginspirasi semua orang yang ada dalam organisasi sementara manajer bergantung pada kontrol. (3). Pemimpin bertanya “what” dan “why,” sedangkan manajer bertanya “how”. Meskipun untuk dua fungsi itu mungkin mirip, namun keduanya sangat dibutuhkan oleh sebuah organisasi, sehingga tak salah jika ada anggapan yang menyebut pemimpin dan manajer merupakan sumber daya utama dan aset penting bagi suatu organisasi ataupun perusahaan.
Lalu bagaimana Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) melihat diskursus ini? Apa ikut salah satu mahzab itu? Atau mengikuti keduanya. Apakah LAI memandang para manajer dan pemimpin-pemimpin unit kerjanya sebagai sebuah aset? Dalam sambutannya Bendahara Umum LAI menyampaikan, ada 2 teori soal kepemimpinan, yaitu pemimpin yang lahir dari pengalaman dan pemimpin yang dipersiapkan. Lewat pelatihan “SMART Leadership” ini, LAI “concern” kepada para manajer dan pemimpinnya dapat mengembangkan kreativitas dan dinamika kepemimpinannya agar dapat terus ditingkatkan , sehingga mereka dapat menjalankan wewenangnya yang muaranya adalah tercapainya tujuan LAI sebagai sebuah organisasi.
Lalu apa yang dimaksud dengan “SMART Leadership” sendiri? Apakah seorang pemimpin semata-mata harus “smart”? Sebenarnya SMART yang dimaksud disini adalah agar tujuan organisasi dapat tercapai, maka seorang pemimpin dalam menjalankan tugas-tugasnya harus meliputi lima unsur ini, yakni: Spesifik, Motivating, Attainable, Relevan, dan Trackable. Jika pemimpin dalam menjalankan tugasnya memiliki kelima unsur ini, maka tujuan organisasi dapat dicapai.
Firman Allah hadir untuk semua orang adalah mimpi besar LAI. Agar mimpi ini dapat dicapai, maka diperlukan visi yang sama dari para pemimpinnya. Untuk itu Pelatihan “SMART Leadership” ini sebagai salah satu media pembelajaran bagi seluruh Kepala Departemen, Kepala Bagian, dan Supervisor yang ada di LAI untuk menyelaraskan visinya dengan visi LAI. Harapannya setelah mengikuti pelatihan ini mereka akan ditingkatkan keterampilan “leadership"nya sehingga dapat membantu tugas-tugas manajerialnya.
Agar dapat berjalan efektif, maka pelatihan yang difasilitasi oleh Josh Lie dari Komunitas Tempo ini dibagi menjadi 2 gelombang, yaitu: gelombang yang dilaksanakan pada Senin, 22 Oktober 2018 dan gelombang kedua, Senin, 29 Oktober 2018. Diharapkan dari pelatihan akan menjadi stimulus untuk melahirkan para pemimpin-pemimpin terbaik yang akan dapat mewujudkan Alkitab Untuk Semua.[]