LAI dan Pendeta Tugas Khusus GBKP
LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) dan GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) telah menandatangani Kesepakatan Kerjasama (MOU) pada bulan Mei 2018 lalu. Dalam Pasal 1, ayat 4.a. tertulis: “LAI dan GBKP sepakat untuk melanjutkan dan mengembangkan kerjasama yang telah terjalin berlandaskan kemitraan yang saling memberdayakan.”
Sebagai tindak lanjut dari MOU di atas, LAI diminta untuk terlibat aktif dalam program pemberdayaan para pendeta di lingkungan GBKP. Pada 3-4 September 2018 Moderamen GBKP menyelenggarakan lokakarya “Kepemimpinan Strategis Kristiani” untuk para Pendeta Tugas Khusus GBKP. Sesuai kompetensi dan pengalaman yang dimiliki, Sekum LAI dipercaya untuk menjadi fasilitator dan narasumber lokakarya yang diselenggarakan di kesejukan kota Kabanjahe tersebut. Bersamaan dengan lokakarya ini, LAI sedang memroses pengiriman 10.000 Alkitab Pesanan Khusus Moderamen GBKP untuk didistribusikan ke jemaat-jemaat GBKP. Sungguh suatu kemitraan yang indah dan sangat sinergis antara LAI dan GBKP.
GBKP memiliki 18 (delapanbelas) Pendeta Tugas Khusus yang diberi tanggung jawab mengelola unit-unit pelayanan GBKP di luar Klasis dan Jemaat (Runggun). Indikator keberhasilan dari masing-masing unit layanan ini sangat berbeda dengan indikator keberhasilan Klasis dan Jemaat. Klasis dan Jemaat lebih menekankan aspek kerohanian warga jemaat GBKP, sedangkan unit Abdi Karya (Percetakan dan Toko Buku) misalnya, indikator keberhasilannya tidak secara langsung berhubungan dengan aspek kerohanian warga jemaat. Begitu juga dengan unit-unit lain seperti unit layanan ODHA HIV/AIDS, unit layanan Lansia, Bank Perkreditan Rakyat, Credit Union, Pusat Pembinaan Warga Gereja, Retreat Center, dll. yang memiliki indikator-indikator keberhasilan yang khas. Disinilah perlunya pengembangan kemampuan menetapkan indikator keberhasilan lembaga dan upaya mencapainya dengan kepemimpinan yang strategis berbasis iman Kristen.
Di awal lokakarya saya mengajak peserta untuk berefleksi tentang ciri-ciri pemimpin yang efektif. Seluruh peserta sepakat bahwa “setiap pemimpin harus memiliki pengaruh positif terhadap lembaga yang dipimpinnya”. Untuk dapat “berpengaruh” maka pemimpin harus: (1) Memiliki visi besar yang mampu menjawab Beban Utama pemangku kepentingan lembaganya, dan harus selalu berorientasi ke masa depan. Pemimpin tidak boleh sekadar menjalankan hal-hal rutin tanpa menghadirkan perubahan positif bagi lembaganya. (2) Mampu mendemostrasikan karakter pribadi yang positif (kebiasaan positif, integritas, dapat dipercaya dan berpikir analitis), (3) Mampu memobilisasi komitmen individu (berbagi peran, optimalisasi potensi), serta (4) Mengembangkan kapasitas organisasi (membangun tim dan mengelola perubahan).
Empat hal di atas dapat diibaratkan seperti keutuhan manusia: (1) Kepalanya, (2) Badannya, (3) Kaki kanannya, dan (4) Kaki kirinya. Keempatnya harus dalam kondisi prima agar dapat menghasilkan dampak bagi lingkungannya.
Dalam diskusi yang sangat dinamis di kelas, peserta mengungkapkan banyak sekali kendala dan hambatan yang menyebabkan kurang dapat mengoptimalkan kepemimpinannya. Setelah dideteksi, mayoritas kendala-kendalanya berada pada “lingkaran keprihatinan”, dimana disitu terdapat faktor-faktor yang tidak dapat dipengaruhi, melainkan hanya sekadar dapat berprihatin saja. Mengacu pada teori yang dikembangkan Stephen R Covey, saya mengajak semua peserta untuk konsentrasi pada “lingkaran pengaruh”, yaitu faktor-faktor yang dapat dipengaruhi oleh kehadiran kita.
Semua peserta terinspirasi untuk mengembangkan terus “lingkaran pengaruh” ketimbang terbenam dalam “lingkaran keprihatinan” saja. Misalnya dengan mengoptimalkan kewenangan yang diberikan (ketimbang menuntut kewenangan lebih besar), merumuskan Visi besar lembaga (ketimbang menunggu adanya visi dari pihak lain), memanfaatkan peluang-peluang yang ada (ketimbang mengeluhkan banyaknya kendala), membangun kultur kerja yang positif (ketimbang mengeluhkan banyak orang tidak serius bekerja), memberikan perhatian kepada bawahan secara tulus (ketimbang menuntut agar dirinya diperhatikan), memberikan teladan positif (ketimbang menuntut orang lain menjadi teladan), memberikan arahan-arahan solusi berbasis data yang jelas (ketimbang berputar-putar dengan opini tanpa data), dan fokus kepada kinerja (ketimbang fokus kepada kendala).
Dalam diskusi mengembangkan kemampuan menjadi pemimpin yang strategis, disepakatilah agar: (1) selalu berorientasi kepada Visi besar, (2) selalu mampu merumuskan strategi-strategi yang tepat, dan (3) harus menjalankan nilai-nilai bersama yang dapat mendukung keberhasilan lembaga. Visi, Strategi, dan Nilai-nilai adalah tiga kata kunci yang tidak dapat ditawar-tawar dan harus terus ada di benak para pemimpin yang efektif.
Kelas yang sangat dinamis dengan peserta (para Pendeta Tugas Khusus) yang setara dalam kemampuan, pengalaman, dan komitmen membuat hasil pembelajaran sungguh menjadi sangat bermakna. Waktu dua hari bukan sebagai “kronos”, tapi sungguh menjadi “kairos” bagi seluruh peserta dan fasilitator lokakarya. Sinergitas LAI dan GBKP yang saling memberdayakan sudah terwujud dalam lokakarya ini. Puji nama Tuhan. Salam Alkitab Untuk Semua.
Sigit Triyono (Sekum LAI)