Firman Tuhan Untuk Apahapsili

Erna Yulianawati, Kadep Komunikasi & Pengembangan Kemitraan LAI (memegang obor) saat Ibadah Peluncuran KBB bahasa Yali Angguruk di Ahapsili, 27 Mei 2018.

 

Seminggu setelah peluncurkan Alkitab bahasa Yali di Yali Angguruk, Papua, 25 Mei 2018 Tim Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) kembali menuju tanah Papua untuk meluncurkan Buku Kabar Baik Bergambar (KBB) bahasa Yali Angguruk dan menyerahkan Alkitab bahasa Yali di Apahapsili, salah satu distrik di Kabupaten Yalimo, Papua.

Apahapsili terletak di lembah yang diapit oleh empat gunung yang mengelilinginya, yakni Gunung Wenahik Pumbukon, Gunung Esin, Gunung Nambuk Poik, dan Gunung Fubuheyu. Selain gunung, wilayah Apahapsili juga diapit oleh 4 aliran sungai besar yang mengelilinginya, yakni: Sungai Habiye, Sungai Wol, Sungai Payerek, dan Sungai Lek. Apahapsili bagaikan Lembah Taman Eden. Namun jika dilihat dari arti kata Aphapsili, maka arti tempat itu sangat bertolak belakang dengan taman eden. Apahapsili dalam bahasa Yali berasal dari 3 suku kata. “Ap” artinya manusia, “Ahap” artinya kulit, dan “Sili” artinya tempat/halaman/lokasi, jadi Apahapsili artinya tempat menguliti kulit manusia. Sangat menyeramkan memang. Namun nama tempat itu hanyalah simbol dari kehidupan suku Yali di masa lalu yang masih primitif dan kanibal. Saat ini suku Yali sudah hidup dalam terang Kristus.

Untuk masuk Apahapsili dari Sentani kami menggunakan pesawat Cessna 208 Caravan, pesawat kecil berpenumpang 10 orang milik MAF. Dalam pesawat itu selain pilot, kami ber- 9 orang dipimpinan oleh Bp. Nathan Pahabol, selain duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Papua, beliau juga sebagai koordinator peluncuran KBB Yali Angguruk dan penyerahan Alkitab Yali Angguruk. Tak terasa kami sudah mengudara selama 45 menit ketika roda pesawat menyentuh landasan di Apahapsili, di Pegunungan Yalimo.

Kami disambut secara antusias oleh masyarakat Apahapsili yang berasal dari Rayon Jemaat Elelim, Jemaat Apahapsili, 17 bakal jemaat Gereja Kristen Injili di Tanah Papua(GKITP). Selain itu kami disambut oleh Pdt. Yahya Walianggen, Ketua Klasis Yalimo Elelim beserta pengurus klasis, Pdt. Piet Usior, Badan Pekerja Am Wilayah Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Fredrick Tommeten, Koordinator Penerjemah bahasa Yali Angguruk, Ketua Majelis Jemaat GKITP Lachairoi Apahapsili, para guru jemaat, tua-tua adat, dan para penginjil, serta penduduk setempat. Mereka semua menggunakan pakaian adat Humi dan Kem/Salu menyambut kami sambil menari dalam gerak dan nada. Sebagai ucapan selamat datang masyarakat Yali,  penduduk mengalungkan noken di leher kaum ibu dan kalung dari biji rumput hilimbak untuk kaum bapak.

Pagi-pagi benar kami dikejutkan dengan suara yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan oleh kaum laki-laki yang dinyanyikan dari belahan bukit dan suara kaum perempuan yang dinyanyikan dari sudut gunung yang lain yang berasal dari kampung sebelah. Semangat gotong royong juga terlihat dimana penduduk desa tetangga sengaja datang untuk membangunkan tuan rumah agar segera cepat-cepat ambil batu dan rumput untuk acara bakar batu.

Sambil penduduk menyiapkan batu, rumput, dan mengolah makanan, kami melaksanakan lokakarya di gedung sekol ah YPK Lachairoi Apahapsili, dimana sebelumnya dimulai ibadah singkat yang dipimpin oleh Bp. Yunus Walilo, seorang Guru Jemaat dan juga menjadi salah satu tim penerjemah bahasa Yali. Sesi pertama diawali dengan penyampaian materi tentang Profil GKITP Klasis Yalimo Elelim dengan tema Sebagai Hasil Pekabaran Injil Selama 54 Tahun. Selanjutnya, Ibu Erna Yulianawati menyampaikan Visi-Misi LAI dan Program Kemitraannya LAI. Kemudian Pdt. F. Tommaten memberikan sesi tentang Asal Usul dan Proses Penerjemahan Alkitab Bahasa Yali. Pada sesi keempat giliran Bp. Nathan Pahabol yang akan menjelaskan Penggunaan Bahasa Yali Angguruk dalam keseharian. Dan pada sesi terakhir dipimpin oleh Pdt. Willem Rumbiak yang akan menjelaskan  Visi Misi GKI di Tanah Papua.

Setelah sepanjang hari berlokakarya, sore itu kamipun diminta untuk mengikuti prosesi Bakar Batu atau Barapen di mana semua makanan yangg terdiri dari babi, sayur-sayuran, ubi-ubian dimasak di dalam kolam yang dibawahnya diletakan batu panas dan kemudian ditutup kembali dengan batu panas yang sudah dibakar berjam-jam.

Hari ketiga di Apahapsili, pagi itu kami masih disambut oleh nyanyian bersahut-sahutan tanda mereka akan menjemput kami dengan tari-tarian dan kegembiraan. Prosesi ibadah peluncuran tepat dimulai pukul 10.00 WIT, yang diawali oleh rombongan para guru jemaat, majelis dan hamba Tuhan dengan pembawa Alkitab yang diangkat seperti “Tabut Perjanjian”. Setibanya di tempat ibadah, tepat di depan gedung Gereja Lachairoi yang lama, “Tabut Perjanjian” diletakkan, dan dilakukan pembakaran obor bambu oleh Pdt. F. Tometten, BP Am Sinode GKI di Tanah Papua, Wakil LAI, dan Ketua Klasis. Ini sebagai simbol terang Kristus terus menyala di Tanah Apahapsili. Ibadah Minggu dimulai dengan puji-pujian bahasa Yali Angguruk dengan pembawa liturgi Ibu Agustina Faluk, Wakil Ketua MJ GKITP Lachairoi dan Pdt. Piet Usior, sebagai Pembawa Firman.

Saat peluncuran Alkitab dan KBB bahasa Yali disampaikan dalam bentuk fragmen oleh Pdt Fredrik Tommeten dan diserahkan bersama oleh wakil LAI kepada Sinode GKI di Tanah Papua. Kemudian oleh Pdt. Daniel Kaigere, S.Si, Sekum GKITP  menyerahkan secara simbolis kepada perwakilan gereja-gereja yang ada di Apahapsili. Diikuti penyerahan oleh LAI, pemerintah, dan klasis. Alkitab dan KBB Yali Angguruk diserahkan kepada orang tua dan anak2 serta para pengasuh. Tuhan luar biasa. Jelas terlihat sukacita dan kegembiraan umat menerima Alkitab dan KBB Yali Angguruk. Dengan gemuruh teriakan dan tarian disambut terang matahari seakan memandang dari langit ikut menyambut Kabar Baik. Antusiasme umat terlihat ketika berhari-hari mereka jalan kaki bahkan sampai 3 hari dari kampung Gilika dan Welare 2 hari perjalanan. Sayangnya umat Tuhan terlalu banyak, sementara Alkitab dan KBB yang ada masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan umat berbahasa Yali. LAI harus terus bergumul agar firman Tuhan terus tersebar sampai wilayah terpencil, semoga banyak jiwa tergerak untuk melihat kerinduan mereka di Apahapsili. Tuhan mampukan kami untuk terus bersaksi dan melayani umat Tuhan untuk Tanah Papua. [ma]

 

 

 

Digital Tanpa Sinyal

Pembagian Alkitab bahasa Yali Angguruk kepada umat

“Bagaimana kesan Bapak sesudah tiba dan menginap di Lembah Yali Angguruk ini?” tanya seorang jurnalis gereja yang mewancarai saya pagi sebelum matahari terbit (kamis, 18 Mei) di saat prosesi “bakar batu” menjelang acara peluncuran Alkitab  dalam Bahasa Yali Angguruk, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua.

“Saya benar-benar merasakan di sinilah terjadi paradoks ekstrem, yaitu ‘digital tanpa sinyal’!” jawab saya. Betapa tidak, para Pejabat Pemerintah, Pejabat Gereja, Wartawan, pilot, para turis, juga saya, dan Pdt Anwar Tjen,. Ph.D (Kepala Departemen Penerjemahan LAI) serta Bung Hendrik (staf Pengembangan Digital) semuanya membawa HP dan peralatan serba digital. Tapi ironisnya di lembah Yali Angguruk yang lokasinya terpencil dikepung oleh banyak gunung terjal, belum ada fasilitas listrik PLN dan apalagi sinyal HP.

Saya hadir di Yali Angguruk mewakili LAI atas undangan panitia peluncuran Alkitab bahasa Yali Angguruk (yang selesai diterjemahkan dalam kurun waktu 27 tahun) sekaligus perayaan lahirnya Klasis Yalimo GKI Di Tanah Papua yang ke 57 tahun. Saya tinggal satu malam di Yali Anggruk seperti menemukan suasana masa kecil saya di awal tahun 70an di perkampungan selatan Pulau Jawa. Listrik tidak ada, televisi dan radio belum musim, koran tidak pernah jumpa, jalan raya masih berlumpur dan sering banjir, sehari-hari pergi dengan telanjang kaki, mandi pun juga jarang karena sulit menemukan air bersih.

Saat ini sudah tahun 2018, tapi suasana di perkampungan Pulau Jawa tahun 70an tersebut masih saya jumpai di sini, dan malah lebih parah karena ada beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang masih setengah telanjang. Artinya ada ketertinggalan kemajuan hampir 50 tahun. Saya mendapat ceritera dari berbagai sumber kalau Lembah Yali Angguruk baru dijamah para misionaris pada tahun 1957. Pada tahun 1961 para misionaris bersama masyarakat berhasil membangun lapangan terbang perintis di antara gunung-gunung yang ada. Pada tahun 1963 baru ada satu guru sekolah dasar yang merangkap Guru Injil yang juga didatangkan oleh misionaris. Beliau adalah Onesimur Usior (73 tahun) dari Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua yang saat itu baru berusia 18 tahun dan baru menikah satu minggu.

“Karena syarat untuk dapat dikirim menjadi guru harus sudah lulus sekolah guru dan sudah menikah, maka sesudah lulus sekolah guru dan seminggu sebelum saya berangkat ke Yali Angguruk, saya menikah dulu”, jelas Pak Usior. Dengan adanya isteri yang mendampingi maka dia bisa bekerja lebih tenang dan betah di tempat yang masih sangat sunyi serta terpencil itu. Saat itu dia bekerja bersama Bapak Siegfried Zollner seorang misionaris dari Jerman.

“Saat saya datang pada tahun 1963, semua orang di Yali Angguruk tidak ada yang berpakaian”, kata Pak Usior yang sudah pensiun dari Guru sejak 2005 namun hingga saat ini masih aktif sebagai Guru Jemaat di Biak Timur, yang juga hadir di Yali Angguruk untuk menyaksikan peluncuran Alkitab dan Ulang Tahun Klasis Yalimo. Dulu masyarakat di sini masih suka berperang dengan masyarakat lainnya dan saling “memakan” pihak yang kalah. Sesudah mereka mengenal Injil dan dibaptis di tahun 1970 an, maka mereka bisa hidup damai, rukun dan tidak ada lagi peperangan. Namun demikian kemajuan masyarakat disini memang sangat lambat oleh karena lokasi Lembah yang sangat sulit dijangkau kecuali oleh pesawat perintis.

Adalah Bapak Freiderich Tometten, misionaris dari Jerman, Bapak Linus dan Bapak Esau (pengguna bahasa Yali Angguruk) yang menerjemahkan Perjanjian Lama. Juga Bapak Arnold Mohi, Bapak Kornelis Mohi, serta Bapak Tomas Ambolon yang menulis Perjanjian Baru. Pada tahapan akhir pekerjaan penerjemahan Alkitab ini, LAI terlibat dalam mensupervisi semua naskah yang ada untuk diterbitkan dan dicetak pada akhir tahun 2017 serta diluncurkan pada bulan Mei 2018.

Pekerjaan penerjemahan yang memakan waktu 27 tahun menghadirkan sukacita besar bagi masyarakat pengguna bahasa Yali Angguruk di Lembah Yahuli Atas, Tengah dan Bawah dari Lembah Ubahak. Juga dari Lembah Sibi, Pondeng, Hine/Korasarek. Tentu juga masayarat di Apahapsili: Lembah Habiye, Kulet, Pong, Werenggikma dan Lembah Welaek serta Elelim.

Bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan sangat dimudahkan bila menggunakan bahasa Ibu. Selain itu pelestarian bahasa Ibu juga sangat penting bagi identitas sebuah bangsa. Penerjemahan Alkitab ini adalah sebuah karya maha besar yang mencakup keutuhan hidup sebuah suku bangsa Yali Angguruk. Saya sangat bangga dan terharu dapat hadir dan menjadi bagian yang sangat kecil dalam karya kebersamaan ini. Saya terhenti sejenak dan hampir menangis saat memberikan sambutan.

Acara peluncuran Alkitab dan Ulang Tahun klasis yang diawali dengan prosesi “bakar batu” (memasak ubi-ubian, sayur-sayuran dan puluhan daging babi menggunakan batu-batu yang dibakar) berlangsung sangat meriah. Diiringi berbagai atraksi tarian khas masyarakat Yali, berdoa, menyanyi refleksi dan pembagian Alkitab serta sambutan-sambutan. Acara ini dihadiri oleh ribuan umat anggota GKI Di Tanah Papua, Plt Gubernur Papua dan rombongan, Bupati dan Pimpinan DPRD Yahukimo serta rombongan, Pimpinan Sinode GKI Tanah Papua dan rombongan, para Wartawan, para Turis, tentu juga saya, Pak Anwar dan Bung Hendrik dari LAI.

Digital tanpa sinyal adalah pertanda perjuangan masih sangat panjang. Termasuk perjuangan menerjemahkan, menerbitkan, dan menyebarkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia.
Salam Alkitab Untuk Semua.

Sigit Triyono (Sekum LAI)