“Sebab itu Ia berdiri, membuka jubah-Nya, dan mengikat anduk pada pinggang-Nya. Sesudah itu Ia menuang air ke dalam sebuah baskom, lalu mulai membasuh kaki pengikut-pengikut-Nya dan mengeringkannya dengan anduk yang terikat di pinggang-Nya.” (BIMK, Yohanes 13:4-5)
Sehari sebelum Hari Raya Paskah, Yesus mengumpulkan kami untuk mengadakan perjamuan makan. Ini adalah suatu kebiasaan yang terus guru pertahankan untuk mendekatkan kami semuanya. Dengan begitu kami juga bisa berbincang-bincang banyak dengan-Nya, bertukar pikiran, dan membahas banyak hal bersama dalam suasana yang lebih santai. Saya mengakui, Ia adalah guru yang sangat terbuka dan penuh dengan kebijaksanaan. Ia begitu dekat dengan kami, bahkan lebih dari saudara kandung sekalipun. Ia adalah sosok yang penuh kasih dan sangat tegas. Ketegasan-Nya tidak mengurangi sedikit pun kasih-Nya kepada kami dan orang-orang yang ada disekitar-Nya, begitu juga kasih-Nya tidak pernah menutupi ketegasan-Nya. Ketegasan dan pengajaran-Nya yang keras membuat banyak orang mundur dari pada-Nya, tetapi kasih, hikmat, kharisma, dan kebenaran yang diajarkan-Nya menarik semakin banyak orang untuk mengikuti-Nya.
Di Israel saat itu ada cukup banyak guru yang mengajar tentang agama, tapi Ia adalah seorang yang sangat berintegritas. Ia pribadi yang berbeda. Ia melakukan apa yang Ia ajarkan, dan mengajarkan apa yang Ia lakukan, yaitu apa yang telah Ia terima dari Bapa. Dalam pengajaran dan kehidupan-Nya tidak ada sedikitpun cela. Saya adalah saksi dari semuanya itu.
Setelah kami menyelesaikan makan malam, guru tiba-tiba berdiri di hadapan kami semua, Ia menanggalkan jubah yang dipakai-Nya, lalu mengikat anduk di pinggangnya. Kami semua sangat terkejut, dan hanya bisa saling memandang satu sama lain. Dalam pikiranku, “Apa yang hendak dilakukan guru? Ah… tidak mungkin, masakan Ia mau membasuh kaki kami?” Apa yang guru hendak lakukan saat itu seperti seorang pelayan yang akan membasuh kaki tuannya, sesuatu yang sangat lazim waktu itu. Benar saja, Guru memang mau membasuh kaki kami. Aku adalah orang pertama yang Ia hampiri, sebab akulah yang duduk paling dekat dengan-Nya. Spontan saja aku menarik kakiku, karena tidak mungkin aku membiarkan Guru melakukannya, seharusnya akulah yang melakukan itu pada guru sebagai tanda hormat dan baktiku kepada-Nya. Sebab Dia adalah tuan dan aku pelayan-Nya. Aku menolaknya, tetapi kesungguhan hati-Nya untuk melakukan itu dan cara Ia menatapku membuatku terpaksa membiarkan-Nya membasuh kakiku sampai mengeringkannya. Reaksi murid-murid yang lain juga sama sepertiku, hingga Guru sampai pada kaki Petrus. “Tuhan, masakan Tuhan yang membasuh kakiku?” kata Petrus. Apa yang Petrus katakan sejujurnya mewakili suara hati kami semua. Ya, dia adalah murid yang paling spontan dalam berbicara, maklum dia adalah seorang dengan karakter sanguin yang memang kerab meledak-ledak dalam merespon sesuatu. Guru menatap kami lalu berkata, “Sekarang engkau tidak mengerti apa yang Kulakukan ini, tetapi nanti engkau akan mengerti. Kalau Aku tidak membasuhmu, engkau tidak akan mendapat bagian dalam Aku.”
“Apakah maksud dari perkataan dan tindakan-Nya itu? Dan Siapakah kami ini sehingga seorang guru seperti-Nya merendahkan diri untuk mencuci kaki kami?” Aku dan Yakobus adalah yang suka bermulut besar, Andreas yang pemalu, dan Petrus yang kurang ajar. Ia membasuh Lewi mantan kaki tangan Roma, Natanael dan Tomas yang suka bersikap sinis dan ragu-ragu, dan murid-murid lain yang juga penuh dengan kekurangan.
Tetapi hari ini tahulah aku, sesudah kesusahan besar yang Ia alami, dan setelah kemenangan-Nya atas maut. Bahwa Ia membasuh kaki kami agar kami semua menjadi bersih. Ini adalah lambang atas tindakan agung yang dilakukan-Nya sebagai seorang pelayan, yakni mati di kayu salib untuk dosa-dosa dunia. Sebab memang kami adalah orang-orang berdosa, dikandung dan diperanakkan dalam dosa dan kehidupan kami pun tidak masuk dalam hitungan orang-orang benar. Kami orang-orang yang patut dimurkai oleh Allah. Namun anugerah-Nya, melalui pencurahan darah-Nya di kayu salib, kami menjadi bersih.