Meskipun paham sosialisme atau komunisme mati dan sudah lama ditinggalkan para penganutnya di dunia, namun Vietnam adalah salah satu negara di dunia yang masih menerapkan paham komunisme dalam sistem politiknya. Pemerintah Vietnam sangat membatasi pertumbuhan umat Kristennya, namun Negara masih memberikan ruang kepada 7 persen penganut Katolik dan 2 persen penganut Protestan untuk beribadah. Pergumulan yang dialami umat Kristen di negeri yang jumlah total penduduknya berjumlah 91,7 juta jiwa ini mirip dengan Indonesia, dalam arti Gereja di Vietnam mendapat tantangan besar justru dari luar gereja, terutama tekanan dari Pemerintah.
Pemerintah Vietnam lewat pengurus Partai Komunisnya terus bergiat merekrut anggota baru, terutama dari para penganut Katolik. Di daerah pedesaan banyak umat Katolik yang bergabung dengan Partai Komunis karena diberi insentif uang untuk datang ke gereja yang dikelola pengurus Partai Komunis. Di gereja ini mereka menyanyikan lagu-lagu pujian, sementara di latar belakang ada spanduk logo partai, lambing komunisme, dan bendera Vietnam. Beribadatan ini dihadiri pula oleh pejabat pemerintah setempat, para pengurus partai komunis dan sejumlah pejabat polisi berseragam. Para pejabat tersebut menyebut komunitas Katolik ini ‘Paroki Katolik Damai’ atau gereja Pemerintah.
Melihat kenyataan ini pemerintah ‘sepertinya ingin menjauhkan umat Katolik dari gereja dan bergabung ke gereja yang dikelola pemerintah’.Jika pemerintahan yang lalu ‘selalu mengawasi pemeluk agama, terutama Katolik dan Protestan’ dan ‘menganggap agama sebagai alat kapitalis’,maka dengan dihidupkannya gereja yang dikelola Negara, pemerintah ingin menunjukkan bahwa pemerintah tidak menerapkan diskriminasi terhadap pemeluk agama tapi terus gencar mempromosikan ideologi komunisme kepada para umat Kristiani, khususnya penganut Katolik. Itulah sebabnya Gereja Katolik di Vietnam terpecah: “Gereja Pemerintah” dan “Gereja Vatikan”. Akan tetapi jumlah umat “Gereja Pemerintah” jauh lebih sedikit dibandingkan “Gereja Vatikan.” Bapa Kardinal Pierre Nguyen Van Nhon di Hanoi mampu mempertahankan independensi dan sikap kritis terhadap pemerintah serta tetap setia kepada Vatikan.
Persoalan lain muncul ketika Pemerintah tidak memberikan izin kepada Kardinal baru di Saigon yang dicalonkan menggantikan Kardinal yang sudah pensiun dan tidak menjabat lagi sebagai pemimpin Gereja Katolik di Saigon. Padahal Gereja Katolik di Vietnam dipimpin oleh dua orang Kardinal yang masing-masing memimpin Gereja Katolik di Saigon dan Gereja Katolik di Hanoi, tetapi hanya Kardinal di Hanoi yang “diizinkan” oleh pemerintah untuk memimpin Gereja Katolik di Hanoi.
Kontrol ketat pemerintah juga membuat keberadaan “Lembaga Alkitab Vietnam” masih berbentuk perusahaan (berbisnis di bidang Alkitab). Karena bentuknya perusahaan komersil, maka pemerintah Vietnam memberikan ijin operasi karena (mungkin) lebih mudah mengontrol keberadaannya. Salah satu akibat dari kontrol ketat ini adalah upaya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa di Vietnam masih terkatung-katung. Entah kapan akan selesai tidak ada yang tahu, karena masih menghadapi tantangan soal pengakuan dari Gereja dan terutama dari Pemerintah. Kontrol ketat dari Pemerintah juga kami rasakan selama persidangan di Vietnam, di mana seluruh peserta sidang selalu diingatkan oleh panitia agar sangat berhati-hati dengan dokumen dan identitas yang berhubungan dengan acara rapat ini. Bahkan setiap istirahat makan siang di restoran hotel tempat kami bersidang, “name tag” kami pun perlu dilepas agar tidak terbaca identitas kami masing-masing oleh orang lain.
United Bible Societies (UBS) khususnya perwakilan Lembaga-lembaga Alkitab yang ada di kawasan Asia Pasifik. Pada persidangkan “Catholic Affinity Group” kali ini ada 11 negara Asia Pasifik yang tergabung dalam pertemuan di Hanoi, 17-18 Juli 2018 untuk membahas berbagai tantangan dan peluang yang ada di Asia Pasifik sehubungan dengan optimalisasi pelayanan Lembaga Alkitab untuk umat Katolik. Bahkan masih ada beberapa Lembaga Alkitab di kawasan Asia Pasifik yang belum memiliki pengurus maupun karyawan dari unsur Gereja Katolik. Akibatnya banyak peluang pelayanan Alkitab kepada umat Katolik kurang dapat dimanfaatkan dengan baik.
Sebagai contoh, sejak dua tahun terakhir secara global, Gereja Katolik menekankan perhatian kepada kaum muda. Hal ini didorong oleh data keberadaan 30% penduduk dunia yang berusia di bawah 18 tahun. Sesungguhnya mereka juga sangat membutuhkan layanan dari Lembaga Alkitab agar lebih cinta dan menyatu dengan Alkitab dalam keseharian hidup. Perhatian kepada kaum muda ini kurang dimanfaatkan oleh Lembaga-lembaga Alkitab sehingga sangat sedikit program-program yang paralel dan seazas dengan semangat di atas.
Produk-produk yang khusus untuk memenuhi kebutuhan kaum muda haruslah segera dikembangkan oleh Lembaga-lembaga Alkitab. Proses kerja yang selalu melibatkan banyak pihak (terutama Gereja Katolik lokal) perlu selalu dioptimalkan. Selanjutnya kegiatan-kegiatan promosi harus memakai cara-cara “zaman now” agar kaum muda Katolik bersemangat dalam upaya menyatu dengan Alkitab.
Setelah dua hari mengikuti persidangan yang sangat padat ini, pekerjaan rumah Lembaga Alkitab Indonesia bertambah lagi. Hal ini menandakan bahwa peluang bertambah banyak demi mewujudkan Alkitab Untuk Semua. Terpujilah Tuhan. Salam Alkitab Untuk Semua.
Sigit Triyono (Sekum LAI)