Seperti umumnya keluarga kelas menengah di Amsterdam, Mechior Leijdecker hidup dalam keluarga yang berada dan serba berkecukupan. Kesempatan ini memungkinkannya untuk mengenyam bangku pendidikan di Universitas ternama di Belanda. Jurusan yang diambilnya adalah pendidikan kedokteran dan pendidikan teologia. Karena kepandaiannya, Leijdecker mampu menyelesaikan pendidikan keduanya secara cepat. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama dia sudah diangkat menjadi pendeta di Amsterdam.
Pekerjaannya sebagai pendeta jemaat di Amsterdam terpaksa dikorbankan karena dunia militer lebih kuat memanggilnya. Leijdecker mendaftarkan dirinya sebagai pendeta tentara. Oleh tentara Kerajaan Belanda, tahun 1675 Leijdecker ditugaskan ke Hindia Belanda, sebagai pendeta tentara di Jawa Timur. Setelah 3 tahun bertugas di Jawa Timur Leijdecker dipindahkan ke Batavia dan menjadi Pendeta Jemaat berbahasa Melayu di Kampung Tugu, sebuah wilayah di pinggiran Jakarta.
Kampung Tugu di mulai dari kaum ”Mardijkers” yang di bawa sebagai tawanan perang oleh Belanda atas kemenangan mereka dari Melaka dan India selatan yang masa itu di bawah pemerintahan Portugis. Belanda menerima kaum Portugis ini di Batavia dan melepaskan mereka dari perbudakan dengan persyaratan menganut agama Protestan, dan di kenal sebagai “Mardijikers” oleh Belanda. Belanda kemudian memberikan mereka lahan di mana kampung Tugu tumbuh dan dibangunkan sebuah gereja, sekarang kita mengenalnya sebagai Gereja Tugu.
Keberadaan kampung Tugu tidak dapat dipisahkan oleh peran Leijdecker, di tengah pekerjaan sebagai pendeta jemaat yang berbahasa Melayu mendorongnya untuk mendalami kosa kata Bahasa Melayu yang pada akhirnya mengantarnya untuk mendalami penerjemahan Alkitab. Leijdecker mulai menerjemahkan beberapa kitab dan hasilnya cukup baik. Pada tahun 1691, atas permintaan majelis gereja di Batavia dan disponsori oleh Kompeni (VOC), ia diminta untuk menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu tinggi, yaitu ragam bahasa yang lazim dipakai untuk menulis buku kesusastraan pada masa itu. Dan sejak tahun 1693, ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta supaya dapat mencurahkan seluruh waktunya untuk menerjemahkan Alkitab. Salah satu metode penerjemahan yang mulai diterapkan Leijdecker adalah meneliti naskah-naskah Alkitab dalam bahasa-bahasa aslinya, dan dengan tekun ia mencari kata dan istilah bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab.
Namun tahun 1701 sebelum seluruh terjemahan Alkitab selesai dikerjakan, Leijdecker meninggal dunia. Pekerjaan penerjemahan mulai dari Efesus 6: 6 sampai Kitab Wahyu dilanjutkan oleh Pendeta Peter van der Vorm. Setelah seluruh kitab selesai diterjemahkan, Peter van der Vorm dan anggotanya memeriksa ulang Alkitab terjemahan Leijdecker dalam Bahasa Melayu ini, sebelum diterbitkan di Belanda tahun 1733.[3FQ]