Ke Digoel Kami ‘kan Kembali

 

Hidup ini adalah kesempatan

Hidup ini untuk melayani Tuhan

Jangan sia-siakan apa yang Tuhan b’ri

Hidup ini harus jadi berkat

 

Lagu yang sedang ngetop ini lamat-lamat mengalun di speedboat yang sedang melaju di Sungai Digoel, sungai terpanjang di Papua dan salah satu di Indonesia. Mengalir ke arah selatan sepanjang 546 km dari hulunya di Pegunungan Jayawijaya, sungai ini memiliki sejumlah kali kecil dan melewati Kabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Bintang, Asmat, Mappi, Boven Digoel dan Merauke, sebelum akhirnya bermuara di Laut Arafura.  Sudah dua hari tim LAI berada di Mangga Tiga, salah satu kampung di Distrik Manggelum, Kabupaten Boven Digoel. Kami ingin memastikan bahwa kelompok-kelompok Pembaca Baru Alkitab (PBA) segera dimulai.

PBA itu sendiri adalah program baca tulis berbahan Alkitab bagi buta aksara. LAI menyelenggarakannya sebagai bagian dari cita-cita “Alkitab untuk semua”. Sederhananya, sebelum mereka memiliki Alkitab, kami memberi pelatihan membaca dan menulis. Dengan harapan, mereka akan membaca Alkitab dan pada gilirannya, keterampilan literasi akan menolong mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pelatihan bagi tutor yang akan mengajar dan koordinator wilayah yang akan memonitor proses belajar telah terlaksana pada 1-3 Februari 2018. Program ini akan diselenggarakan di Distrik (Kecamatan) Manggelum dan Kombay. Itu sebabnya kami berada di Manggelum.

Hari itu, 8 Februari 2018, akan menjadi hari yang panjang. Pukul 08.00 kami seharusnya sudah akan berangkat ke Bayanggop, kampung di ujung Manggelum, juga ujung dari Kabupaten Boven Digoel. Keberangkatan ditunda karena harus mengajar anak-anak yang telah menunggu tutor dengan antusias. Jumlah mereka lebih banyak dari hari sebelumnya. Sebelum pelajaran dimulai, dengan gembira mereka menyanyikan lagu-lagu yang baru diajarkan sehari sebelumnya. Sambil menggoyangkan badan dan mata berbinar, Baca Kitab Suci, Saya Bukan Pasukan Berjalan, Bapa Abraham, menyeruak di gedung sekolah SD yang sudah beberapa bulan tidak dipakai. Bangunan dalam SD yang sebelumnya tampak muram karena beberapa bangku dan meja rusak, kini sumringah dengan keriangan anak-anak.

Ibu Neila mampu membuat wajah anak-anak di Manggelum kembali ceria

Namun, kami harus bergegas ke Bayanggop. Anak-anak ini ditinggal bersama Sdr. Lukas Mariyanto, staf LAI yang ditugaskan khusus di Boven Digoel, dan seorang tutor yang akhirnya bergabung. Dengan Sdr. Fredrik Talo Goro, jam 10.00 kami berangkat menuju Bayanggop karena sudah sepakat untuk bertemu dengan para tutor dan koordinator wilayah di sana. Semalam hujan sehingga sungai banjir dan ini membantu kami tiba di Bayanggop dengan speedboat dalam waktu dua jam saja.

Kampung Bayanggop

Tidak seperti biasanya, tidak banyak yang menyambut kami di Pelabuhan Bayanggop. Rupanya banyak penduduk kampung sedang di Tanah Merah (ibukota Kabupaten Boven Digoel) atau di dusun (lokasi kebun-kebun mereka).

“Tidak ada orang, ibu,” kata seorang tua. “Orang (usia) tua saja dan anak-anak. Dan orang sakit,” tambahnya lagi.

“Kalau begitu kami mau ke gereja saja,” kata saya.

“Kunci gereja tidak ada. Majelis juga tidak ada.”

“Kalau sekolah?” tanya saya lagi.

“Itu bisa, tidak dikunci.”

“Tidak ada (kegiatan di) sekolah. Sudah lama tidak ada. Tidak ada guru to”, tambahnya lagi.

Gereja di Bayanggop

Kami pun menuju sekolah, salah satu calon lokasi belajar kelompok PBA. Karena tidak dipakai maka pelajaran akan berlangsung di pagi hari, baik untuk orang tua maupun anak-anak. Malam hari tidak mungkin belajar karena listrik hanya berasal dari genset. Kalau ada yang bersedia menanggung ongkos “minyak“ (BBM) maka listrik akan menyala untuk seluruh kampung. Tidak ada yang namanya dinyalakan untuk satu atau beberapa rumah saja. Dari sekolah kami menelusuri kampung itu yang adalah pemukiman yang dibangun oleh pemerintah, sehingga praktis seluruh penduduk kampung tinggal dengan jarak yang saling terjangkau satu sama lain. Saat itu, Bayanggop memang sepi dan sunyi. Tidak ada mama-mama (ibu-ibu) yang duduk di pintu rumah, atau bapak-bapak yang asyik mengobrol. Sementara langit begitu biru dan indah, dan di daratan tanaman cabe berbuah lebat, ubi jalar merambat tak malu-malu, dan kangkung tumbuh di berbagai tempat, juga gedi merah yang dibawa dari Papua Nugini (orang di sini biasanya berjalan kami saling mengunjungi dengan kerabat mereka di sana).

Bayanggop pun kami tinggalkan. Di tengah jalan, sebuah long boat mendekat ke arah kami dan orang-orang di dalamnya melambai-lambai. Ternyata mereka adalah tutor dan koordinator wilayah yang mustinya bertemu kami. Sambil minta maaf mereka berjanji kelompok-kelompok Bayanggop akan segera mulai (dan benar demikian). Untuk memastikannya, Sdr. Fredrik akan menemui mereka minggu berikutnya.

Perjalanan ke Mangga Tiga dilanjutkan kembali dan berlangsung lancar. Kami mendarat di perbatasan kampung Kewam dan Manggelum (ibukota distrik). Dua kampung ini bersama Mangga Tiga terletak saling berdekatan. Hanya terpisah oleh sebuah kali kecil. Ada kelompok dewasa yang akan mulai belajar siang itu di Kewam. Sambil menunggu mereka datang, kami berbincang dengan yang sudah hadir. Menurut perkiraan kami, mama-mama ini rata-rata berumur 20-30- tahun. Rata-rata mereka 4 – 6 anak, dan minimal satu di antaranya meninggal. Alasannya: “Karena swanggi datang ambil, saya ada pi (sedang) cuci baju di sungai.” Swanggi tampaknya menjadi alasan untuk banyak hal yang tak bisa mereka jelaskan.

mama-mama sebagai warga belajar tengah memperhatikan penjelasan tutor

Di antara mama-mama ini, ada yang pernah sekolah sampai kelas I-III SD, ada yang tidak sama sekali. Kenapa berhenti atau tidak sekolah, alasannya hampir mirip satu sama lain. Tidak ada guru yang rutin mengajar jadinya malas untuk sekolah. Namun, menurut pengakuan mereka sekarang mereka ingin belajar. “Pace-pace (bapak-bapak) su kasih daftar kami (sudah mendaftarkan mereka)”, katanya berbarengan. Alasannya ingin belajar:

“Sa (saya) mau menyanyi Mazmur”

“Sa mau baca Alkitab”

“Sa mau pake HP to” (sejak Desember 2017 sudah ada sinyal seluler di sana).

Sekitar pukul 15.30 WIT, kelompok Kewam mulai belajar dipimpin tutor Mama Yohana. Mereka mengawalinya dengan pelajaran tentang huruf. Beberapa masih ingat huruf-huruf vokal dan konsonan tertentu, seperti b, k, m, dan p. Sambil belajar, ada yang membawa dua anak. Satu digendong sambil disusui, satu lagi balita yang terus merengek ingin juga punya buku tulis. Kami berusaha tidak tampak terganggu. Lebih baik mereka datang sambil membawa anak, daripada tidak datang sama sekali. Rengekannya berhenti setelah mendapat buku tulis dan buku bergambar. Dengan semua keributan itu, mama-mama ini tetap belajar dengan antusias. Sama sekali tidak tampak terganggu,  membuat hati saya terharu dan membatin semoga mereka tak putus asa di tengah jalan. Mengajari orang tua jauh lebih tidak mudah dibanding anak-anak. Bukan hanya daya tangkap yang berkurang, tapi terutama waktu mereka untuk mengulang pelajaran di rumah sering tidak tersedia. Setelah bersama mereka selama hampir 2 jam, kami pun pamit karena harus segera bersiap kembali ke Tanah Merah, ibukota Kabupaten Boven Digoel.  Rencananya, besok siang akan langsung terbang ke Merauke dan kembali ke Jakarta hari berikutnya lagi.

Supaya rencana itu bisa terwujud, waktu perjalanan dari Mangga Tiga ke Tanah Merah harus dipersingkat. Jadi, kami berencana langsung jalan sore itu juga dan beristirahat di Kouh, salah satu distrik tua di Boven Digoel. Ini akan mempersingkat perjalanan besok paginya ke Tanah Merah, yang dapat dicapai sekitar 3 jam dari Kouh. Eloknya, masih akan tersedia cukup waktu memesan tiket untuk penerbangan ke Merauke yang berangkat sekitar pkl. 13.00 WIT. Kalau baru besok paginya berangkat dari Mangga Tiga maka akan tiba di Tanah Merah siang bahkan sore. Tidak akan dapat mengejar penerbangan ke Merauke.  Lebih parah lagi kalau tiba sore, kami mungkin bisa menumpang mobil travel, tapi dengan menyewa seluruh mobil. Itu pun kalau masih ada mobil yang tersedia. Sementara, jika langsung ke Tanah Merah malam itu juga maka akan sangat melelahkan. Kami tetap harus beristirahat dan jalan malam itu lalu beristirahat di Kouh adalah rencana yang ideal. Kami dapat tiba di Jakarta Sabtu, 10 Februari 2018 siang.

Persoalannya, selama ini pengemudi speed boat biasanya tidak pernah bersedia jalan malam karena berbahaya. Banyak kayu hanyut, yang dapat menjungkirkan speedboat, apalagi saat itu sungai sedang banjir. Namun, jurumudi kami hanya berkata, “Dari (terserah) ibu saja”. Akhirnya, setelah berdoa, dengan hati mantap kami pun menuju Tanah Merah. Saat itu,  di speedboat hanya ada Lukas, Adittria Setiawan, jurumudi, dan saya. Biasanya ada asisten jurumudi tapi kali ini tidak.

Tak dinyana, di tengah jalan, oli habis, dan harus membelinya di Kampung Biwage 1, salah satu kampung tempat biasanya orang menginap dalam perjalanan dari dan ke Tanah Merah.  Tak heran, orang-orang di pelabuhan berkata: “Menginap (di) sini sudah, ibu. Besok pagi baru jalan lagi.” Wah, itu berarti bakal menambah waktu perjalanan besoknya. Kami tidak punya kemewahan itu. Setelah dijelaskan, mereka dapat memahami rencana kami dan melepas kami dengan: “Jalan baik ibu. Minyak dan oli su (sudah) cukup sampai Tanah Merah.” Sekitar pukul 21.00 WIT, kami pun kembali mengarungi Sungai Digoel.

Tujuannya masih Kouh. Laju speed boat telah dikurangi demi keamanan. Sepanjang jalan, Lukas dan Adittria bergantian duduk di ujung depan speed boat, memegang senter untuk a.l. memberi kode bagi jurumudi jika ada kayu hanyut, terutama yang besar-besar, sambil memberi penerangan seadanya. Menabrak kayu besar amat berbahaya karena dapat membalikkan speedboat atau melubangi fibernya. Syukurlah, dengan penerangan terbatas ternyata tidak ada satu pun kayu yang kami tabrak. Padahal, bahkan di siang hari pun dengan asisten berpengalaman, menabrak kayu kerap terjadi. Di tengah jalan, hujan datang mengguyur cukup deras.

Waktu kini telah menunjukkan pukul 00.30 WIT. Hujan telah berhenti, walau langit masih kelam, sekelam lingkungan sekitar kami, dan bintang tak kunjung muncul. Hampir tidak ada yang bisa menjadi penanda tentang kami kini berada di mana. Bagi saya yang sudah beberapa kali melewati Digoel, perjalanan kami mulai tampak mengkhawatirkan. Sudah 3,5 jam sejak dari Biwage 1. Mestinya kami sudah mendekati bahkan tiba di Kouh. Apalagi sungai sedang banjir dan ini membantu speedboat bergerak mengikuti arus walau dengan kecepatan rendah.  “Ada yang tidak beres“, pikir saya. Saat itulah berawal alunan „Hidup ini adalah kesempatan.” Ketika speedboat kami terantuk batu-batu dan air tampak tidak mengalir, padahal sungai sedang banjir maka lagu-lagu Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Nyanyian Baru, dan lagu-lagu lain silih berganti terdengar, dibarengi Mazmur-mazmur serta doa-doa. Mungkin semua koleksi lagu rohani yang saya ketahui sudah dinyanyikan demi menguatkan kami di kegelapan dan ketenangan mencekam Sungai Digoel.

Sekitar pukul 02.30 pagi, tampak cahaya lampu di kejauhan. “Itu Kouh kah?” tanya saya dengan penuh harap. Tak terdengar jawaban selama beberapa detik yang terasa bagai beberapa jam. “Itu sudah”, kata jurumudi kami mantap. Akhirnya! Pelabuhan Kouh menyambut kami dengan cahaya samar-samar dan seadanya.  Masih diperlukan perjuangan untuk mencari tempat menyandarkan speedboat dan naik ke daratan karena air sedang pasang, tapi kami sudah di Kouh!

Malam itu, atau lebih tepat subuh itu, kami menginap di penginapan milik seorang perantau dari Karo. Sederhana tapi terasa menenangkan. Tidur di lantai beralas karpet, tapi tokh masih beratap sehingga terlindungi dari hujan dan angin. Segera kami mengganti baju yang sudah kuyup oleh air hujan, dan membuka bekal makanan kami. Nasi dingin dan daging babi asap terasa begitu nikmat. Saya sebetulnya tidak lapar, tapi amat paham bahwa nutrisi diperlukan agar tidak disambangi malaria. Diet keto (mengurangi asupan karbohidrat) atau diet apapun yang dilakukan orang di Jakarta, tidak akan menolong menghadapi malaria. Setelah beberapa kali ke Manggelum dan Kombay, saya berkesimpulan, untuk mencegah malaria yang mengintai hampir di setiap sudut distrik ini, saya harus makan dengan nutrisi cukup dan dalam porsi yang lebih dari yang biasanya. Sekarang kami telah kenyang dan sudah memakai baju kering. Kini saatnya tidur. Empat orang di ruangan dan karpet yang sama.

Pelabuhan Kouh ketika air sungati Digoel surut

Paginya, 9 Februari 2018, pukul 08.00, kami menuju Tanah Merah dengan speedboat yang sama, dan tiba menjelang pukul 11.00 WIT. Sekitar 30 menit sebelum pelabuhan, sudah ada jaringan telepon, saya pun mengirim SMS memesan tiket ke pengemudi mobil rental yang biasa kami pakai. Syukurlah masih tersedia. Pak Made, begitu namanya, menjemput kami di pelabuhan, mengambil tiket, mampir menitip barang saya di rumah Pdt. Daniel Iha, dan langsung menuju bandara.  Pukul 14.00 WIT hari yang sama kami sudah terbang menuju Merauke. Lusanya, 10 Februari 2018 pagi, dari Merauke kami kembali ke Jakarta dan tiba pukul 12.30 WIB. Dua hari waktu perjalanan kembali ke Jakarta dapat terpangkas karena keputusan meninggalkan Mangga Tiga pada 8 Februari menjelang malam.

Kini, menuju Merauke dengan pesawat, tampak Sungai Digoel berkelak-kelok indah dengan banyak hamparan kehijauan di kedua sisinya. Dan lagu-lagu yang dinyanyikan di sungai itu semalam kembali terngiang jelas di telinga saya. Sungguh, lagu adalah (salah satu) cara Tuhan melawat dan merawat umatnya. Kami merasakan itu. Tentu tak hanya lagu, Mazmur 121 yang juga bisa dinyanyikan masih tak kalah jelasnya:

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung

Dari manakah akan datang pertolonganku

Pertolonganku ialah dari TUHAN

yang menjadikan langit dan bumi

Ia takkan membiarkan kakumu goyah,

Penjagamu tidak akan terlelap

Seperti para peziarah Yerusalem mendaraskan Mazmur 121 di sepanjang jalan dan itu memberi kekuatan bagi perjalanan mereka, kami pun merasakannya di sungai dan kali-kali di Digoel (agaknya kami sempat terbawa arus ke salah satu kali yang menyebabkan waktu perjalanan ke Kouh lama). Sungai Digoel sudah kami alami di waktu siang, pun di waktu malam. Selain, keindahan yang melahirkan ucapan syukur, rasa takut dan gentar pun tetap ada. Namun, seperti para peziarah Yerusalem dikuatkan dalam perjalanan mereka, kami pun merasakan demikian; bahwa kasih sayang dan penyertaan TUHAN ada di setiap langkah kami, di debur sungai dan kali yang kami arungi, juga di hutan-hutan yang kelak akan kami susuri. Dia yang menolong kami tidak pernah terlelap. Dan seperti para peziarah yang tak kunjung lelah datang ke Bait Allah di Yerusalem, demi umat TUHAN di Manggelum dan Kombay, ke Digoel kami pun masih kan kembali.

 

Neila Henoch-Mamahit