Inilah Yesus Raja Orang Yahudi

Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaian-Nya dengan membuang undi. Lalu mereka duduk di situ menjaga Dia. Dan di atas kepala-Nya terpasang tulisan yang menyebut alasan mengapa Ia dihukum: “Inilah Yesus Raja Orang Yahudi.”

“Tulisan itu apakah bentuk penghormatan ataukah penghinaan?” Aku telah mengikutinya selama lebih dari tiga tahun. Hari itu sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Memang bukan untuk pertama kalinya sejak mengikuti Dia nyawaku terancam. Kemanapun aku pergi mengikut Dia bersama dengan sebelas murid lainnya, hatiku selalu merasa was-was. Banyak yang mengikuti kami, orang-orang yang ingin mendengarkan ajaran-Nya, yang simpati, sampai yang terpesona dengan kharisma-Nya. Tetapi diantara orang banyak itu ada juga orang-orang munafik yang ingin mencari celah supaya bisa menangkap, memenjarakan, bahkan membunuh-Nya. Merekalah yang membuatku was-was dan harus berjaga ekstra ketat, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan, paling tidak aku bisa melindungi-Nya, karena aku memang sangat dekat dengan-Nya, dan akulah yang paling berani di antara semua murid.

Namun hari itu imanku benar-benar tergoncang, aku sangat takut. Ketakutan yang belum pernah aku alami sebelumnya. Mentalku adalah yang paling kuat jika dibandingkan dengan murid-murid lainnya. Maklum, aku dibesarkan dan hidup ditengah badai dan gelombang. Itu sudah mejadi makananku hari-hari, hingga tidak ada lagi yang aku takutkan, bahkan kematian sekalipun. Karena itulah resiko dari pekerjaanku sebagai seorang nelayan.

Aku hanya bisa melihat-Nya dari kejauhan. Lututku bergetar, hatiku sangat sedih, belum lagi rasa malu yang masih kuat menyelimutiku. Pilu sekali melihat penderitaan guru sekaligus sahabat yang sangat saya kasihi. Apalagi saat mata-Nya dengan tatapan yang sangat tajam menatap ke arahku, tidak dapat aku mengangkat kepalaku lagi. Aku ingat tatapan itu. Tatapan mata itu sama ketika untuk pertama kalinya kami bertemu di tepi danau Galilea dan Dia berkata, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Mana mungkin Ia masih berharap aku menjadi penjala manusia, aku yang telah mengkhianati dan menyangkalinya. Dosaku sudah terlalu besar, Tuhan.

Air mataku mengalir begitu deras, hatiku sakit melihat setiap luka menganga di tubuh-Nya. Ia tergantung di tiang salib seperti seorang penjahat, begitu hina, padahal tidak ada sedikitpun cela pada-Nya. Tidak pantas Ia berada di situ, “Akulah yang harusnya disalibkan.” Namun Ia menerima semuanya itu, hukuman yang harusnya ditimpakan kepadaku ditanggung-Nya. Ia tidak membuka mulut-Nya sama sekali, seperti anak domba yang dibawa ke tempat pembantaian atau seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya. Belum pernah aku melihat seorang manusia seperti Dia.

Tidak! Dia bukan manusia biasa. Ia pastilah seorang nabi sama seperti Musa dan Elia.

“Tidak! Ia jauh melebihi mereka semua.”

Andai saja aku bisa memutar kembali waktu, aku tidak akan pernah menyangkalinya. Aku bahkan akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk melindungi-Nya. Tidak ku biarkan seorang pun menyentuh-Nya, atau sehelai rambut-Nya jatuh ke tanah.

Telah sekian banyak guru-guru yang mengajar di zamanku, namun tidak ada satu pun dari antara mereka yang membuatku tertarik untuk mengikutinya. Yesus berbeda dengan mereka, ketika Ia datang memanggilku, tidak dapat aku berkata tidak meresponi panggilan-Nya. Aku bahkan tidak sempat berpikir bagaimana nanti aku dapat memberi makan keluargaku jika aku tidak lagi menjala ikan. Anehnya bukan hanya aku saja, tetapi juga Andreas saudaraku, serta si kembar Yakobus dan Yohanes, anak Zebedeus, serta merta mengikuti Orang itu. Aneh rasanya, empat orang nelayan mengikuti anak seorang tukang kayu, untuk mengajar. Kami yang bahkan tidak pernah mengikuti pendidikan, apalagi tertarik untuk mendengarkan ajaran dari rabi-rabi Yahudi. Aku sangat yakin, Orang itu juga tidak terdidik.

“Aku haus….”  Ku dengar sayup-sayup suara-Nya, “Oh… tidak, Dia haus, Tuhan.. apa yang harus aku perbuat? Oh Tuhanku… Dia sangat menderita. Darah-Nya terus menetes, sementara luka-luka yang menganga itu terpanggang teriknya matahari”, “ Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong-Nya, begitu banyak tentara Romawi yang menjaga-Nya. Kalau aku nekad menerobos penjagaan itu, aku pasti mati.

“Berapa lama lagi Tuhan, Engkau membiarkan-Nya menderita? Bukankah Engkau yang mengutus-Nya? Mengapa Engkau tidak datang melepaskan-Nya? Engkau pernah berkata dari surga, “Inilah Anak yang Kukasihi”, tapi di manakah bukti kasih-Mu kepada-Nya saat ini?”

Saat itu aku marah kepada Allah, “tapi pantaskah seorang pendosa dan pengkhianat ini marah?” Aku baru menyadari saat itu, ternyata sejak dari jam dua belas siang langit menjadi gelap. “Apakah ini tandanya? Sungguhkah Ia ini Anak Allah?” Kira-kira jam tiga waktu itu, terjadi gempa bumi yang hebat. Aku bahkan terjatuh, hampir saja tertimpa reruntuhan. Pikirku, inilah tanda kedatangan Allah untuk menolong-Nya. Namun saat aku melihat ke arah-Nya, Ia tidak lagi bernyawa, “Yesus mati, guruku telah mati. Oh Tuhanku, Engkau terlambat menyelamatkan-Nya.”

Aku, Petrus, saksi hidup dari peristiwa itu. Saat itu aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Dia. Tiga tahun aku bersama-Nya, tapi tidak cukup aku mengenal-Nya. Namun hari ini, mataku telah terbuka, tahulah aku bahwa Yesus itu adalah Anak Allah Yang Maha Tinggi, Dia adalah Mesias yang telah dijanjikan Allah. Kematiaan-Nya bukanlah tanda kekalahan, tetapi tanda kemenangan-Nya atas dosa. Ia telah menanggung seluruh dosa dunia, dosa saya dan dosa Anda.

Ia bukanlah manusia biasa, Dia adalah Allah yang menjadi Manusia. Dia juga adalah Raja, namun bukan raja orang Yahudi. Tulisan di atas kayu salib itu bagiku sangat merendahkan-Nya, sebab Dia adalah Raja atas semesta. Dia Yesus.