Penerbitan Kabar Baik Bergambar Bahasa Enggano

Ya’uwaika!!! Demikianlah sapaan khas masyarakat Enggano yang tinggal di Pulau Enggano. Pulau seluas 680 km2 ini merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Sebagai salah satu pulau terluar di Barat Indonesia, Pulau Enggano secara langsung berhadapan dengan Samudra Hindia. Penduduk asli Pulau Enggano adalah Suku Enggano, yang terbagi menjadi lima sub suku. Semuanya berkomunikasi dengan bahasa yang sama, bahasa Enggano. Masyarakat Enggano rata-rata hidup dari hasil perkebunan seperti kakao dan kopi. Tidak sedikit dari mereka yang merangkap sebagai nelayan. Hasil tersebut biasanya mereka bawa untuk dijual di Kota Bengkulu yang berjarak 14 jam perjalanan laut. Letak Enggano yang jauh dari pusat kegiatan ekonomi di Bengkulu, membuat sebagian besar penduduk Enggano – yang jumlahnya sekitar 2.650 jiwa – berpenghasilan di bawah garis upah minimum regional. Umumnya masyarakat Enggano adalah penganut Islam dan Kristen. Meski berbeda iman, namun mereka mampu menjaga kerukunan antarumat beragama dengan sangat baik.

Posisinya sebagai salah satu pulau terluar (terletak di Samudera Hindia, di sebelah barat daya Kabupaten Bengkulu Utara), tidak jarang membuat Pulau Enggano dan masyarakatnya luput dari perhatian masyarakat Indonesia. Meskipun saat ini sudah ada beberapa gereja yang digunakan sebagai pusat-pusat peribadahan, pembinaan iman bagi umat Tuhan di sana masih merupakan tantangan yang besar. Di tengah situasi inilah, penerbitan Kabar Baik Bergambar dalam bahasa Enggano diharapkan dapat menolong anak-anak Enggano semakin mengenal kasih Tuhan yang menganugerahkan keselamatan di dalam Yesus Kristus. Kini Pulau Enggano mengundang kita untuk mengingat mereka, melalui dukungan doa dan dana, sehingga dapat membuka wawasan dan kesempatan bagi umat Tuhan, khususnya anak-anak di sana untuk memelihara dan memperdalam iman mereka.

Anggaran Penerbitan
Penerjemahan Rp. 28.662.000,-
Pencetakan Rp. 340.000.000,-
Ongkos Kirim Rp. 23.875.000,-
Peluncuran dan Distribusi Rp. 11.776.110,-
Sosialisasi Rp. 39.253.700,-
Pelayanan umum LAI Rp. 44.356.681,-
Total Biaya Rp. 487.923.491,-

Penerbitan Kabar Baik Bergambar Bahasa Sabu

Bahasa Sabu adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Sabu yang mendiami Pulau Sabu. Pulau ini merupakan bagian dari Kepulauan Sabu yang terdiri dari Pulau Sabu, Raijua, dan Dana. Menurut penuturan orang Sabu leluhur mereka berasal “dari laut yang jauh sekali tempatnya”. Sejak tahun 2008 Pulau Sabu yang oleh masyarakatnya dikenal sebagai Rai Hawu telah berstatus kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nama Kabupaten Sabu Raijua. Pulau indah yang tersembunyi dengan luas 460,47 km2 memiliki penduduk sekitar 92.713 jiwa. Karena tingkat mobilitas yang tinggi orang Sabu menyebar ke seluruh Nusa Tenggara Timur seperti Kupang dan sekitarnya, Pulau Timor, Ende-Flores, Waingapu-Sumba, Melolo-Sumba serta Reo-Flores. Di tanah perantauan mereka tetap menuturkan bahasa daerah mereka. Bahasa Sabu (Hawu atau Sawu) terdiri dari lima dialek, yaitu Seba (Heba), Mesara (Mehara), Timu (Dimu), Liae, dan Raijua. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, Malayo-Polinesia Tengah, dan Bima-Sumba. Berdasarkan data tahun 1997, diperkirakan ada 110.000 penutur bahasa Sabu dan tidak sedikit di antaranya berada di luar Pulau Sabu. Karena masih banyak orang Sabu yang belum bisa berbahasa Indonesia, bahasa Sabu menjadi alat komunikasi sehari-hari yang utama. Bahasa ini memainkan peranan penting dalam kehidupan berbudaya masyarakat Sabu. Seperti banyak masyarakat lainnya di Indonesia, orang Sabu masih mempertahankan adat istiadat yang khas. Di antaranya adalah upacara adat dan sastra lisan yang mereka warisi dari leluhur secara turun temurun dan telah membentuk kepribadian masyarakat Sabu. Hingga kini masyarakat Sabu masih mempertahankan kepercayaan asli yang dikenal dengan nama Jingitiu. Menurut data kependudukan pada tahun 2016, tercatat sebanyak 87 persen masyarakat Sabu memeluk agama Kristen Protestan dan 2 persen lagi Katolik. Sejarah mengungkapkan kekristenan di Pulau Sabu sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-18 berkat dedikasi sebuah badan misi asal negeri Belanda.
Saat ini, salah satu gereja Tuhan yang melayani di sana adalah Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). Tantangan bagi Gereja kini adalah menghadirkan Injil bagi masyarakat Sabu seraya tetap menghargai adat istiadat yang masih mereka pegang. Dengan menerbitkan Kabar Baik Bergambar dalam bahasa Sabu, kita berharap agar Injil semakin mengakar di antara anak-anak Sabu dan turut membentuk identitas dan visi mereka dalam menghadapi perubahan zaman.

Anggaran Penerbitan
Penerjemahan Rp. 28.662.000,-
Pencetakan Rp. 340.000.000,-
Ongkos Kirim Rp. 25.000.000,-
Sosialisasi Rp. 39.366.200,-
Peluncuran dan Distribusi Rp. 11.809.860,-
Pelayanan umum LAI Rp. 44.483.806,-
Total Biaya Rp. 489.321.866,-

Penerbitan Alkitab Bahasa Yali Ninia

Istilah Yali adalah nama-nama yang digunakan oleh Suku Dani, salah satu suku besar di daratan Papua, untuk suku tetangga mereka di sebelah timur dan timur laut. Kampung-kampung Suku Yali itu terletak di lembah-lembah curam dan sulit dijangkau. Daerah itu sangat terpencil, penghuninya tidak terdiri dari satu kelompok yang memiliki satu ciri khas saja, tapi beragam. Mereka hidup terpisah oleh keadaan geografis yang cukup menghambat komunikasi. Orang Yali tidak menamakan dirinya sendiri Yali. Jadi Yali dan Yalimu sebenarnya berarti tetangga kita di sebelah timur (istilah relasi). Karena gereja dan pemerintah selalu memakai istilah Yali dan Yalimu untuk mereka maka akhirnya mereka sendiri menerima nama itu dan sekarang menyebut diri Yali. Yalimu (negeri atau tempat tinggal orang Yali) terletak antara 1390 15’ 30’’ LS dan 4004’2’’ LS. Daerah itu diapit oleh empat sungai besar yaitu Sungai Ubahak di sebelah timur, kemudian Sungai Yalubi, Sungai Sibi dan di sebelah barat Sungai Pondeng. Jumlah penduduk Suku Yali sekitar 49.000 jiwa. Oleh suku tetangganya yaitu Suku Dani, orang Yali disebut sebagai “pemakai ikat pinggang rotan” (sabiyap). Berbeda dari tetangganya, laki-laki Yali memakai ikat pinggang kuning, terbuat dari rotan yang dililit puluhan kali sekeliling tubuh mereka hingga menutupi bagian tengah tubuh mereka. Bagian bawah sebelah muka ditahan oleh koteka dengan benangnya, bagian belakang tergantung hingga lipatan lutut.

Secara linguistik, bahasa Yali termasuk dalam rumpun bahasa Dani dan memiliki 4 dialek, yaitu: dialek Ninia (sebelah selatan Lembah Baliem), dialek Angguruk (sebelah barat), dialek Apahapsili (tengah utara), dan dialek Pass Valley (sebelah barat). Walaupun ada perbedaan dialek, namun penduduk di daerah ini bisa berkomunikasi langsung tanpa hambatan. Tempat tinggal orang-orang Yali menyebar di dataran tinggi antara 1000 hingga 2000m. Sesuai lingkungan hidup mereka, rata-rata orang Yali hidup sebagai petani atau berladang. Selain itu mereka juga beternak babi dan memelihara anjing yang membantu mereka dalam berburu. Itu sebabnya, hidup mereka sangat tergantung kepada hasil-hasil ladang seperti singkong, keladi, pepaya, sayur-sayuran dan hasil ternak atau perburuan mereka. Namun karena keterbatasan infrastruktur dan transportasi menyebabkan kendala yang cukup besar bagi mereka untuk memasarkan hasil bumi atau peternakan mereka ke kota untuk dijual. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan inilah umat Tuhan di Yali ditantang terus dapat hidup dalam terang Firman Tuhan. Beberapa tahun yang lampau LAI telah menerbitkan Allah Wene Fano Wene, Alkitab dalam bahasa Yali Ninia atau Yali Selatan. Menyadari betapa besarnya peran Alkitab dalam pertumbuhan iman jemaat Tuhan di Yali Ninia, umat Tuhan di sana mengharapkan agar Alkitab dalam bahasa Yali Ninia ini dapat dicetak ulang. Banyak dari mereka yang rindu untuk memiliki dan membaca Firman Tuhan dalam bahasa mereka. Namun cetakan lama Alkitab bahasa Yali Ninia tersebut sudah tidak tersedia lagi.

Harapan dan kebutuhan ini kiranya menjadi undangan yang dapat menggerakkan kita untuk memberi berbagai dukungan, baik doa, daya, maupun dana, dengan satu harapan: lebih banyak umat Tuhan di Yali Ninia yang dapat membaca Firman Tuhan dalam bahasa mereka sendiri, sehingga semakin banyak dari mereka yang memperoleh kesempatan disapa oleh Firman Tuhan yang menuntun mereka kepada hidup baru yang kekal di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Anggaran Penerbitan
Pencetakan 5000 eksemplar Rp. 272.500.000,-
Ongkos Kirim Rp. 35.250.000,-
Sosialisasi Rp. 30.775.000,-
Peluncuran dan Distribusi Rp. 9.232.500,-
Dukungan Pelayanan LAI Rp. 34.775.750,-
Total Biaya Rp. 382.533.250,-

 

Penerbitan Perjanjian Baru Bahasa Kalumpang

Agama dan Kepercayaan
Pada zaman dahulu masyarakat Kalumpang adalah animisme, mereka memiliki kepercayaan yang disebut “ma’dewata” atau “kepercayaan terhadap dewa-dewa” (dewa matahari, dewa bulan, dewa air, sewa gunung, dll.). Masyarakat berjumpa dengan Injil pada tahun 1932 melalui para misionari dari zending Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda seorang utusan zending, A. Bikker datang ke Kalumpang memperkenalkan ajaran dan iman Kristen kepada masyarakat dan berhasil mendidik putra-putri penduduk Kalumpang menjadi pengikut Kristus, dan di antara mereka ada yang menjadi guru Injil. Walaupun suku Kalumpang saat ini pada umumnya pemeluk agama Kristen Protestan, namun di sisi lain masih ada sebagian masyarakat yang mengawinkannya dengan kepercayaan lama (animisme). Memperhatikan hubungan kehidupan antar umat beragama di daerah ini sangat baik, dimana mereka saling menghargai antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Hal ini terbukti dari kehidupan mereka, di mana dalam satu keluarga ada berbagai agama.

Masyarakat Kalumpang mempertahankan hidup berdampingan secara damai dengan memegang ikrar “mesa kada ipotuo, pattan kada ipomate” atau “satu hati kita hidup dan banyak perbedaan kita mati.” Hal ini terlihat dimana dalam acara-acara keagamaan dapat dihadiri oleh mereka yang menganut kepercayaan lain dan mereka melakukannya dengan senang hati. Walaupun sudah sekian lama masyarakat Kalumpang telah menjadi Kristen, tetapi pemahaman terhadap Injil masih lemah. Hal yang sangat menonjol adalah para pemimpin dan warga jemaat sangat kurang mengerti bahasa Indonesia dengan baik, karena pada umumnya pemimpin jemaat tamatan SD dengan tingkat pemahaman bahasa Indonesia yang rendah, sehingga mereka kesulitan memahami Alkitab dalam bahasa Indonesia. Seiring dengan adanya terjemahan Alkitab di beberapa bahasa daerah, maka masyarakat Kalumpang pun merindukan adanya Firman Tuhan dalam bahasa ibu sendiri, supaya dapat memahami dengan baik maksud yang disampaikan dalam Firman Tuhan tersebut. Dalam setiap ibadah, para pemimpin ibadah berusaha untuk menyampaikan Firman Tuhan dalam bahasa daerah untuk menolong jemaat memahaminya, dan bahkan berusaha untuk menerjemahkannya secara lisan dari pembacaannya.

Program Penerjemahan
Menyikapi kondisi jemaat dan kerinduan masyarakat untuk memiliki Firman Tuhan dalam bahasa sendiri, maka pada tahun 2003 Sinode GPSS (sekarang: Gereja Kristen Sulawesi Barat, GKSB) telah membentuk tim penerjemah dan bekerja sama dengan Kartidaya, melalui pelatihan prinsip-prinsip penerjemahan. Program penerjemahan baru berjalan
sejak tahun 2007, dan mulai memperkenalkan bahan terjemahan kepada masyarakat hingga saat ini. Bahan draft dipakai dalam setiap persekutuan ibadah di rumah tangga dan persekutuan kategorial. Untuk menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Kalumpang, Sinode GKSB bekerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. Namun sebelum Alkitab tersebut diterbitkan, maka Konsultan Penerjemahan LAI akan memeriksa kembali naskah terjemahan yang ada. Sementara proses pemeriksaan naskah terus berjalan, LAI mengajak seluruh umat kristiani untuk menggalang dukungan bagi penerbitan Perjanjian Baru Kalumpang ini.

Anggaran Penerbitan
Editing Rp. 18.560.000,-
Pencetakan Rp. 290.000.000,-
Ongkos Kirim Rp. 20.000.000,-
Peluncuran dan Distribusi Rp. 12.303.225,-
Sosialisasi Rp. 37.282.500,-
Pelayanan umum LAI Rp. 37.814.572,50
Total Biaya Rp. 415.960.297,50
Usaha dana yang telah dicapai per 31 Oktober 2017 sebesar Rp. 101.195.281,- 
Jadi total dana yang masih dicari sebesar Rp. 314.765.016,50